Translate

Share

HN. Diberdayakan oleh Blogger.
 
Senin, 29 Juli 2013

Member of Parliament Indonesia , Freedom of Expression in Papua silenced

0 komentar
Agustina Basik Basik dan Yorrys Raweyai saat menggelar jumpa pers di Kantor ALDP (Jubi/Musa)
Jakarta,-- Commission I of the House of Representatives of the Republic of Indonesia (DPR-RI) said freedom of expression in Papua are still hidden. The Government is still assessing the civil society in Papua is not ready.

Member of Parliament, Yorrys Raweyai said the central government fears that civil society is not yet ready in Papua dialogue are wrong. Since the first civil society in Papua is ready. Throughout there are still stigmas separatist approach and apply it rather difficult OPM Papuan problem solved. "It trauma. 

If we are in Jakarta is free. However, freedom of expression in Papua still hidden at all, "Yorrys after breaking the fast with NGOs and media personnel in the Office of Democracy Alliance for Papua (ALDP) in Padangbulan Abepura, Jayapura, Sunday (28/7) evening.

According to him, it is a process. "I, think it's not a new discourse. It has long stood the test of first and many people have become victims, "he said. Furthermore, he said, how the society in Papua stecholder force capable of doing and got together to be able to perform denial. Because, in the rejection of the system difficult to talk about.

"MRP when it agreed to the DPRP stay again, what is hard," Civil Society in Papua should be able to educate as is currently done by JDP (Papua Peace Network) Camon groun to how to encourage dialogue. And especially back to steckholder in Papua, especially civil society itself.

Meanwhile, Agustina Basik Basik members of the House of Representatives Commission II said, should be the resolution of the Papua issue of common concern. One of the best solutions is through the path of dialogue. By sitting together, one after the Papua issue discussed and resolved.
 
Read more...

Issu Referendum Papua, Inggris Minta Presiden SBY Kunjungi Referendum Skolandia 2014

0 komentar
Lord Kilclooney
London,-- Anggota Parlement Inggris  Gedung Parlement mengadakan perdebatan tentang Papua Barat pada hari Rabu 24/7 waktu london,  di mana mereka mengangkat keprihatinan serius mengenai situasi hak asasi manusia di papua barat dan meminta pemerintah Inggris untuk mengambil langkah - langkah dan sikap yang lebih kuat.
"Dengan permintaan Referendum yang luar biasa dari masyarakat Papua untuk menentukan nasib sendiri, dan meminta pemerintah Inggris untuk mengundang Presiden Indonesia untuk mengunjungi Inggris tahun depan untuk referendum Skotlandia untuk kemerdekaan, untuk melihat bagaimana mereka menangani permintaan untuk penentuan nasib sendiri. Lord Avebury"
Lord Harries, yang memulai perdebatan, mencatat pola mengkhawatirkan penangkapan sewenang-wenang dan tahanan politik yang sedang berlangsung di provinsi Indonesia, mengutip bukti yang dikumpulkan oleh kelompok hak asasi manusia yang berbasis di London TAPOL.

Dia juga menantang pemerintah Inggris tentang pendanaan Densus 88, skuad elit kontra-teror yang diduga telah digunakan dalam penangkapan, penyiksaan dan penembakan aktivis politik di propinsi Papua.

Dia mempertanyakan apakah pelatihan yang diberikan oleh Inggris dan lain-lain melakukan apa pun untuk memperbaiki catatan hak asasi manusia unit.

Lord Hannay disebut kebijakan pemerintah Indonesia membatasi akses bagi wartawan asing dan LSM sesat, menambahkan bahwa di mana kerahasiaan berlaku, rumor dan tuduhan berkembang.

Lord Avebury menyarankan situasi di Papua Barat hampir pasti jauh lebih buruk karena hambatan untuk mengakses jurnalis dan pekerja kemanusiaan di papua barat.

Tuan Harries mengkritik UU Otonomi Khusus telah  gagal total dan yang gagal untuk mengatasi aspirasi politik rakyat Papua. Dia meminta Inggris untuk meminta penyelidikan ke dalam kasus  Pepera 1969 yang penuh kontroversial dan mendukung referendum dimonitori internasional.

Lord Avebury mencatat permintaan yang luar biasa dari masyarakat Papua untuk menentukan nasib sendiri, dan meminta pemerintah Inggris untuk mengundang Presiden Indonesia untuk mengunjungi Inggris tahun depan untuk referendum Skotlandia untuk kemerdekaan, untuk melihat bagaimana mereka menangani permintaan untuk penentuan nasib sendiri.

Lord Hannay "menambahkan pemerintah Indonesia harus menunjukkan rasa hormat terhadap budaya Papua, dan bahwa setiap upaya untuk homogenisasi atau mendorong migrasi ke Papua akan membawa ketegangan dan marjinalisasi masyarakat pribumi papua barat.
Baroness Warsi answered questions on behalf of the British Government

Respon dari  pemerintah inggris di wakili oleh Menteri Senior Negara di Kantor Luar Negeri & Persemakmuran, Baroness Warsi.

Dalam tanggapannyai keprihatinan yang diangkat, Baroness Warsi mencatat tingginya tingkat kekhawatiran tentang kebebasan berekspresi dalam perdebatan itu, dan setuju bahwa kebebasan berekspresi di Papua Barat terlalu sering di bungkam dengan alasan keutuhan wilayah dan terotorial.

Dia menggemakan pernyataan dari semua orang yang berbicara dalam perdebatan itu, bahwa semua pihak yang memiliki kepentingan di masa depan Papua harus konstruktif untuk terlibat dalam dialog damai.

Read more...
Jumat, 26 Juli 2013

British government concerned about situation in West Papua

0 komentar

Lord Harries opened the session
Lord Harries opened the session

The British government was questioned in the House of Lords last night about the ongoing crisis in West Papua. Baroness Warsi, speaking for the British government recognised that “the events surrounding the 1969 Act of free Choice continue to be a controversy”, whilst Lord Avebury suggested that Indonesian President SBY “should be invited to the UK in September 2014 ( for the referendum on self- determination in Scotland) so that he can see how we deal with demands for self-determination in this country”. Baroness Warsi said in her closing statement that “We all agree that the situation in Papua is of concern”.
The full transcript of the session can be accessed through a link at the end of this report.
Report
Lord Harries of Pentregarth, former Bishop of Oxford opened the session by stating, “My Lords, violations of basic human rights in West Papua are not only continuing but becoming more frequent. In 2012-13 there were numerous incidents of West Papuans being shot, arrested and tortured simply for taking part in peaceful demonstrations.
Leaders of the West Papua National Committee—the KNPB—are particularly targeted. To give just one example, at a peaceful demonstration on 1 May this year, three Papuans were shot—killings which were rightly condemned by both the UN High Commissioner for Human Rights, Navi Pillay, and Amnesty International. A list of 30 such incidents involving arrests for peaceful protests in just two weeks in April and May this year was sent to the OHCHR in Geneva by TAPOL on behalf of eight international organisations concerned with West Papua.”
He continued, “The truth cannot be hidden forever. The 1962 New York agreement signed between the Netherlands, Indonesia and the United Nations guaranteed an “act of self-determination” for the people of West Papua. In 1969 that so-called Act of Free Choice took place.” Lord Harries then quoted Baroness, Lady Symons of Vernham Dean, who on behalf of the British government admitted on December 13th 2004 that, “there were 1,000 handpicked representatives and that they were largely coerced into declaring for inclusion in Indonesia”.
Lord Harries further continued, “Given that the former UN Under-Secretary-General, Chakravarthi Narasimhan, admitted publicly in 2004 that the 1969 so-called Act of Free Choice was in effect a sham, will the Government join with International Parliamentarians for West Papua and International Lawyers for West Papua in asking the UN to conduct an inquiry into what happened in 1969 and then to instigate a referendum on the issue in West Papua itself?
Lord Harries added, “Given the 2010/11 referendum on self-determination in South Sudan and the upcoming referendums on independence in New Caledonia—Kanaky, Bougainville and Scotland, and bearing in mind what happened in East Timor, would it not be prudent, as well as absolutely right, to press for a true, internationally monitored referendum? This issue is certainly not going to go away, however much the Indonesian Government might wish that it would.”
Read more...
Kamis, 25 Juli 2013

Bendera GAM Segera Berkibar di Kantor Gubernur Aceh?

0 komentar
Launching Bendera Aceh yang akan dikibarkan dalam acara memperingati 8 tahun perdamaian Aceh pada 15 Agustus mendatang direncanakan di halaman kantor Gubernur Aceh.

Hal tersebut dikatakan Anggota Komisi A DPRA Abdullah Saleh saat usai rapat rencana launching Bendera Aceh dengan Dirjen Otda Kemendagri, Rabu (24/7).

“Launching bendera Aceh direncanakan di halaman Kantor Gubernur Aceh, Momen memperingati kehadiran Bendera Aceh ini bukan sesuatu yang berbeda, ini dilakukan hanya untuk memperjelas keacehan Aceh saja,” kata Abdullah Saleh.

Abdullah Saleh menjelaskan akan dilakukan sesuai dengan ketentuan Qanun Aceh Nomor 3 tentang Lambang dan Bendera Aceh. Dan Pengibaran tidak dilakukan di seluruh instansi pemerintahan, tetapi hanya di titik acara saja.

“Nanti dalam prosesinya kita naikkan Bendera Merah Putih dulu, baru kemudian Bendara Aceh,” jelasnya.

Sementara itu Direktur Jenderal Otonomi Daerah (Dirjen Otda) Djohermansyah Djohan mengatakan rencana launching Bendera Aceh yang akan digelar pada 15 Agustus mendatang pihaknya belum dapat memberikan penjelasan lebih jauh, sebab masih akan melakukan pembahasan lanjutan.

“Launchingnya Bendera Aceh masih dalam tahap pembahasan, kita kan harus cari kebaikan untuk masyarakat Aceh dan untuk seluruh rakyat Indonesia, dimana harus dilihat mana kebaikan dan mana mudharatnya, sehingga perlu kajian yang mendalam,” pungkas Djohermansyah Djohan.
Read more...

Pacific Freedom kutuk penyitaan media Papua

0 komentar
Kepolisian Papua dilaporkan mengambil enam salinan majalah baru Pelita Papua dari kantor publikasi untuk diperiksa

Sampul edisi pertama majalah itu menggambarkan symbol Gerakan Papua Merdeka yang dilarang di Papua.
Kepolisian mengklaim  tindakan mereka bukan sebuah upaya untuk melarang penerbitan media itu.

Ketua Forum Pacific Freedom, Titi Gabi, kepada Radio Australia mengatakan, organisasinya mendukung kritik Dewan Pers Indonesia untuk memprotes aksi Kepolisian.

“Sikap kami bersama kolega di Indonesia yang mengutuk hal tersebut,” ujarnya.

Forum Pacific Freedom juga menyerukan agar Pemerintah Indonesia memfasilitasi keberatan mereka dan mendukung kebebasan berekspresi.

Read more...
Senin, 15 Juli 2013

Indonesia menegaskan pembatasan kebebasan berekspresi di Papua kepada Komite HAM PBB

0 komentar
Sesi Komite HAM PBB di Geneva
Sesi Komite HAM PBB di Jenewa
Siaran Pers Bersama oleh Fransiskan International, Hak Asasi Manusia dan Perdamaian untuk Papua (ICP), Imparsial, KontraS, Tapol dan Papua Barat Jaringan
(11 Juli 2013, Jenewa) Pada tanggal 10 dan 11 Maret 2013 Komite Hak Asasi Manusia PBB terakhir pelaksanaan Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik, salah satu hak asasi manusia yang paling penting yang sudah diratifikasi Indonesia dan memiliki kewajiban untuk mengimplementasikan untuk menjamin perlindungan hak-hak di Indonesia.
Komite menyoroti kekerasan yang sedang berlangsung di Papua dan menyesalkan penggunaan kekuatan berlebihan oleh pasukan keamanan Indonesia. Karena tidak ada mekanisme yang efektif yang tersedia untuk menahan anggota militer akuntabel, Komite melihat kembali kejadian pelanggaran seperti kemungkinan sampai Indonesia mengambil langkah-langkah untuk mengembangkan prosedur pengaduan yang efektif. Komite mengacu pada tingginya angka pembunuhan di luar hukum yang terjadi di Papua selama 2 tahun terakhir dan menyesalkan penggunaan kekerasan dalam membubarkan protes damai di Papua.
Poengky Indarti dari pengawas hak asasi manusia Imparsial mengatakan "diskusi tentang Papua di Komite HAM PBB menunjukkan bahwa pelanggaran HAM yang sedang berlangsung di Papua terus menjadi perhatian utama bagi masyarakat internasional."
Sementara pengadilan militer Indonesia dalam banyak kasus tidak terbuka untuk umum dan melakukan demikian kurangnya transparansi, imparsialitas dan independensi, delegasi pemerintah Indonesia secara salah mengklaim kepada Komite bahwa pengadilan ini umumnya dapat diakses oleh publik. Indria Fernida dari London berbasis Tapol terkejut melihat "tingkat penolakan kekurangan kelembagaan yang memperpanjang budaya impunitas di Indonesia."
"Korban kecewa tentang kegagalan Pengadilan Militer di Papua dan sangat membutuhkan mekanisme pengaduan yang efektif atas pelanggaran yang dilakukan oleh militer", Indria Fernida menambahkan.
Komite Hak Asasi Manusia menekankan bahwa pengadilan penahanan anggota militer yang bertanggung jawab harus terbuka, tidak memihak, transparan dan akuntabel. LSM yang menghadiri review mengharapkan Komite memberikan rekomendasi yang kuat kepada pemerintah untuk meninjau UU Pengadilan Militer.
Delegasi Pemerintah mengaku Komite bahwa media lokal di Papua bebas untuk mempublikasikan berita. Sementara itu, kasus intimidasi, ancaman dan kekerasan terhadap wartawan lokal di Papua terus berlanjut. Dalam beberapa tahun terakhir, masyarakat internasional harus menyaksikan pembunuhan di luar hukum Jurnalis Ardiansyah Matrais dan serangan kekerasan terhadap Wartawan Banjir Ambarita.
Dalam penilaiannya, badan PBB juga menyesalkan situasi kebebasan berekspresi di Papua. Letnan Jenderal ret. Bambang Darmono, kepala Unit Percepatan Pembangunan di Papua dan Papua Barat (UP4B), sebagai anggota delegasi pemerintah menanggapi Komite, bahwa "kebebasan berekspresi tidak mutlak". Informasi Komite dimaksud, menyesalkan masalah tahanan politik di penjara Papua. Delegasi pemerintah menyatakan posisinya bahwa Filep Karma, Kimanus Wenda dan tahanan lainnya sah dipenjara karena ekspresi mereka bertujuan untuk memisahkan Papua dari Indonesia. Menurut delegasi, pemerintah Indonesia akan terus berhenti ekspresi damai pandangan politik yang bertujuan pemisahan Papua dari Indonesia dengan cara tuntutan pidana. Delegasi melihat keterbatasan ini kebebasan berekspresi yang diperlukan untuk mempertahankan kedaulatan negara dan keutuhan wilayah Indonesia.
Budi Tjahjono dari Fransiskan International khawatir bahwa "ini menyiratkan sebuah perpanjangan dari pendekatan keamanan yang merugikan di Papua."
Komite diharapkan untuk mempublikasikan kesimpulan observasi dan rekomendasi kepada pemerintah Indonesia pada akhir Juli. The Indonesian pemerintah Laporan negara serta laporan LSM tersedia secara online di 
http://www.ccprcentre.org/country/indonesia/

 
Read more...
Minggu, 14 Juli 2013

Tragis 17 Tewas, Bentrok Suporter Tinju di Papua

0 komentar
Photo Ilustrasi
KOMPAS.com — Bentrok terjadi antara pendukung tinju di Gelanggang Olah Raga (GOR) Kota Lama Nabire, Papua, Minggu (14/7/2013) jelang tengah malam. Akibatnya, 17 orang tewas.

""Saat terjadi keributan, para penonton saling dorong dan saling injak sesama penonton. Tewas 17 orang. Ada 5 laki-laki dan 12 perempuan," ujar Kepala Bidang Humas Polda Papua Komisaris Besar I Gede Sumerta saat dihubungi, Minggu malam. Insiden terjadi sekitar pukul 23.00 WIT.

Gede menjelaskan, massa di GOR saat itu sekitar 1.500 orang. Malam itu ada pertandingan antara Yulius Pigome dari sasana Mawa melawan Alvius Rumkorem dari sasana Persada. Insiden terjadi akibat pendukung Yulius mengamuk setelah kalah dalam pertandingan.

Berikut data korban tewas yang telah dibawa ke RSUD Nabire:
1. Huda (laki-laki)
2. Yosina Waine (perempuan)
3. David Wabes (laki-laki)
4. Stevina Tebay (perempuan 23 tahun)
5. Yuliana Magai (perempuan)
6. Elina Dugupa (perempuan)
7. Anii Wayaa (perempuan)
8. Monica Bonai (perempuan)
9. Meriam Mandosir (perempuan 17 tahun)
10. Martina Keiya (perempuan)
11. Ice Tebay (perempuan)
12. Yanus Manibui (laki-laki)
13. Tresia Waine (perempuan)
14. Merlin Ayeba (perempuan)
15. Yakum Rumkorem (laki-laki)
16. Wilem Agapa (laki-laki)
17. Lisa Womsiwor (perempuan)
Read more...
Jumat, 12 Juli 2013

Indonesia Akui Batasi Kebebasan Berekspresi di Papua

0 komentar
Penangkapan Aktivis Papua
Jenewa,- Pada tanggal 10 dan 11 Maret 2013 lalu, Komisi Hak Asasi Manusia PBB  (Office of the High Commissioner for Human Rights, OHCHR) meninjau pelaksanaan Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik, salah satu hak asasi manusia paling penting yang sudah diratifikasi Indonesia dan Indonesia berkewajiban untuk menjalankan jaminan perlindungan hak-hak itu di Indonesia. Demikian siaran pers bersama Fransiskan International, Hak Asasi Manusia dan Perdamaian untuk Papua (ICP), Imparsial, Kontras, Tapol, dan West Papua Network pada hari Kamis (11/7).

OHCHR menyoroti kekerasan yang sedang berlangsung di Papua dan menyesalkan penggunaan kekuatan berlebihan oleh pasukan keamanan Indonesia. Karena tidak ada mekanisme yang efektif yang tersedia untuk menahan anggota militer dengan akuntabel, Komite melihat kembali kejadian pelanggaran dengan kemungkinan Indonesia sampai mengambil langkah-langkah untuk mengembangkan prosedur pengaduan yang efektif. Komite mengacu pada tingginya angka pembunuhan di luar hukum yang terjadi di Papua selama dua tahun terakhir dan menyesalkan penggunaan kekerasan dalam membubarkan protes damai di Papua.

Poengky Indarti dari pemantau hak asasi manusia Imparsial mengatakan “diskusi tentang Papua di Komite HAM PBB menunjukkan bahwa pelanggaran HAM yang sedang berlangsung di Papua terus menjadi perhatian utama bagi masyarakat internasional.”

Sementara pengadilan militer Indonesia dalam banyak kasus tidak terbuka untuk umum dan dengan demikian kurang transparan, kurang adil, dan independen, delegasi pemerintah Indonesia dengan salah menyatakan kepada Komite bahwa pengadilan ini umumnya dapat diakses oleh publik. Indria Fernida dari Tapol di London terkejut melihat tingkat penolakan kekurangan kelembagaan yang melanggengkan budaya impunitas di Indonesia.

“Korban kecewa dengan kegagalan Pengadilan HAM di Papua dan sangat membutuhkan mekanisme pengaduan yang efektif atas pelanggaran yang dilakukan oleh militer,” kata Indria Fernida.

OHCHR menekankan bahwa pengadilan penahanan anggota militer yang bertanggung jawab harus terbuka, adil, transparan dan akuntabel. LSM yang menghadiri peninjauan mengharapkan OHCHR memberikan rekomendasi yang kuat kepada pemerintah untuk meninjau UU Pengadilan Militer.

Delegasi Pemerintah menyatakan kepada OHCHR bahwa media lokal di Papua bebas untuk mempublikasikan berita. Sementara itu, kasus intimidasi, ancaman, dan kekerasan terhadap wartawan lokal di Papua terus berlanjut. Dalam beberapa tahun terakhir, masyarakat internasional harus menyaksikan pembunuhan di luar hukum jurnalis Ardiansyah Matrais dan serangan kekerasan terhadap jurnalis Banjir Ambarita.

Dalam penilaiannya, OHCHR juga menyesalkan situasi kebebasan berekspresi dan masalah tahanan politik di Papua. Letnan Jenderal purnawirawan Bambang Darmono, kepala Unit Percepatan Pembangunan di Papua dan Papua Barat (UP4B), sebagai anggota delegasi pemerintah menanggapi bahwa kebebasan berekspresi tidak mutlak.

Delegasi pemerintah menyatakan posisinya bahwa Filep Karma, Kimanus Wenda, dan tahanan lainnya sah dipenjara karena ekspresi mereka bertujuan untuk memisahkan Papua dari Indonesia. Menurut delegasi, pemerintah Indonesia akan terus menghentikan ekspresi damai pandangan politik yang bertujuan memisahkan Papua dari Indonesia dengan cara tuntutan pidana. Delegasi melihat pembatasan kebebasan berekspresi diperlukan untuk mempertahankan kedaulatan negara dan keutuhan wilayah Indonesia.

Budi Tjahjono dari Fransiskan International khawatir bahwa ini menyiratkan sebuah perpanjangan dari pendekatan keamanan yang merugikan di Papua.

Read more...

UN Rights committee deplores ongoing violations in Papua

0 komentar
The UN Human Rights Committee has highlighted the ongoing violence in Indonesia’s Papua region and deplored the excessive use of force by Indonesian security forces.
The Committee has reviewed the implementation of the International Covenant on Civil and Political Rights in Indonesia and found ongoing failure to protect these rights in Papua.

Referring to a high number of extrajudicial killings in Papua in the past two years, the Committee says violations are likely to continue with no effective mechanism available to hold the military accountable.

In its review, the UN committee also deplored the situation of freedom of expression in Papua.

However, the Indonesian government delegation to the committee has responded by saying that freedom of expression is not absolute.

According to the delegation, the Indonesian government will continue to stop peaceful expressions of political views that aim at the separation of Papua from Indonesia.

News Content © Radio New Zealand International
Read more...
Kamis, 11 Juli 2013

Papua Juga Punya HAK Sama Deklarasi HAM PBB 10 Desember

0 komentar
Lembaga-lembaga dan negara yang mendukung hak asasi manusia harus bertindak jujur, terhormat dan efektif dilaksanakan  sesuai Deklarasi HAM secara Universal.

Deklarasi Hak Asasi Manusia dicetuskan pada tanggal 10 Desember 1948 setelah Perang Dunia II berakhir dan bergabungnya beberapa negara di Asia dan Afrika ke dalam PBB, adalah  alasan utama dari pencetusan Duham PBB ini  untuk mencegah terjadinya Perang Dunia kembali.

10 Desember sebagai Hari Hak Asasi Manusia Internasional. selalu memperingati atas penandatanganan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia pada tahun 1948, yang mewakili reaksi masyarakat internasional terhadap kengerian Perang Dunia Kedua. tanggal itu sebagai hari untuk refleksi dan lebih dari perayaan. Scan sepintas acara dari beberapa negara dunia telah melontarkan contoh yang menunjukkan bahwa kepercayaan HAM untuk semua - dalam memperlakukan semua negara sama.

Pasal demi pasal secara rinci telah mengatur dan indonesia juga menanda tanganinya ini.
  • Pasal 1 : Semua orang dilahirkan merdeka dan mempunyai martabat dan hak-hak yang sama.
  • Pasal 2 : Perbedaan ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, dll tidak menjadi pengecualian hak dan kebebasan-kebebasan yang tercantum di dalam deklarasi ini.
  • Pasal 3 : Setiap orang berhak atas kehidupan, kebebasan, dan keselamatan individu.
  • Pasal 4 : Tidak ada orang yang boleh diperbudak atau diperhambakan.
  • Pasal 5 : Tidak ada yang boleh disiksa secara kejam, dihukum secara tidak manusiawi atau dihina.
  • Pasal 7 : Semua orang sama di depan hukum dan berhak atas perlindungan hukum yang sama tanpa diskriminasi
  • Pasal 9 : Tidak seorangpun boleh ditangkap, ditahan atau dibuang dengang sewenang-wenang
  • Pasal 10 : Setiap orang berhak atas peradilan yang adil yang bebas dan tidak memihak
  • Pasal 14 : Setiap orang berhak mencari dan mendapatkan suaka di negeri lain untuk melindungi pengejaran
    Pasal 18 : Setiap orang berhak untuk memiliki kebebasan dalam beragama
    Pasal 19 : Setiap orang berhak untuk mengeluarkan pendapatPasal 20 : Setiap orang memiliki hak dan kebebasan untuk berserikat dan berkumpul tanpa kekerasan.

Deklarasi Universal adalah pengakuan bijaksana yang menyatakan berkewajiban negara untuk memastikan perlindungan hak-hak mendasar rakyatnya yang menjamin kebebasan dan martabat individu manusia dan kelompok.

Mungkin yang lebih penting, itu merupakan kesadaran bahwa masyarakat internasional berkewajiban untuk membantu dalam perlindungan hak-hak tersebut.

Masalah di sini bukan apakah indonesia melakukan Pelanggaran HAM dan kejahatan terhadap kemanusiaan, melainkan bahwa kasus papau adalah dua Pihak bangsa  dengan status yang tak terselesaikan jadi akar konflik.

Ini demi perdamaian permenen dan kelangsungan hidup warga papua termasuk juga nusantara NKRI. Indonesia memastikan untuk penerapan deklarasi HAM yang di tanda tangganinya.

fakta di indonesia secara tidak langsung pengabaian HAK manusia papua adalah sebagai bentuk merendahkan rakyat papua barat sebagai warga kelas dua demi atas nama pembangunan nasional.

Kekerasan terbaru di papua tahun 2011-2013 ini meningkat sangat dratis, Label separatisme dan makar menjadi legal dan legitimasi diri para aparat TNI dan polri untuk membantai orang papua. Padahal tuntutan dan permintaan sudah jelas, Hak politik dan luka lama atas kekejaman masa lalu terus tumbuh dalam indeologi nasionalisme orang papua, sehingga selama 50 tahun negara gagal mengindonesiakan rakyat papua sebagai warga indonesia.

Masalah papua sering menjadi sorotan internsional, sepekan yang lalu SBY berpidato depan PM Australia Kelvin Rudd, bahwa masalah papua hanya segaja  besar-besarkan, dan sebaliknya PM AU memuji SBY atas kasus papua dan mendukung keutuhan wilayah NKRI atas papua barat.

Sebenarnya yang terpenting bukanlah masalah keutuhan wilayah dan di besar-besarkan masalah, persoalan riilnya adalah atas perbedaan ideologi dan pelanggaran HAM yang tidak terselesaikan pemerintah atau  lembaga indenpenden atas semua tunduhan pelanggaran HAM di papua barat.

Jika hak setiap manusia itu di pahami baik maka, lebih penting keutuhan manusia ketimbang keutuhan wilayah yang selalu iringkan oleh kepemimpinan SBY selama ini. Aparat TNI/Polri di papua membunuh, menembak dan membantai orang papua hanya dengan alasan keutuhan wilayah teritorial NKRI, padahal orang-orang yang dibantai adalah manusia yang punya HAK yang sama seperti bangsa lain di dunia.

Penulis By Turius Wenda
Read more...
Rabu, 10 Juli 2013

Anak Buah Presiden SBY Di Demokrat Dukung Papua Pisah Dari NKRI

3 komentar
Ulil Abshar Abdlla
Masalah Papua tak akan selesai dalam waktu dekat. Butuh proses lama. Itu fakta politik yg harus disadari semua pihak. Masalah Papua bukan semata2 soal keadilan ekonomi.  ”The problem is, many people there feel they don’t belong to Indonesia!” tegas Ulil. “Ibarat kehidupan perkawinan, kalau salah satu pasangan tak mau lg bertahan dlm ikatan perkawinan, masak hrs dipaksa. Ulil Abshar Abdlla  di Akun Twiternya @Ulil
Konflik Papua akhir-akhir ini memicu beragam pendapat bahkan statemen yang di keluarkan oleh berbagai kalangan. Tak salah bila ikut “perkeruh ” konflik datang dari pentolan partai demokrat yang salah satu pembinanya adalah presiden Republik Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono.

Pernyataan petinggi PD ini merupakan bola panas yang sudah menjadi praktik partai politik selama ini. Apa tujuan pernyataan miring yang mendukung Papua di biarkan saja merdeka ( lepas dari NKRI ). Jelas ada maksud dari opini petinggi demokrat tersebut.

Situs online ( itoday ) melansir status salah satu petinggi demokrat yang juga tokoh jaringan islam liberal. “Apakah kita masih harus mempertahankan Papua? Bagaimana kalau dilepaskan saja? Rumit!”, tulis Ulil di akun twitternya. Lanjutnya, “Saya dulu jg berpikir, Papua harus dipertahankan dg harga apapun. Tapi saya merasa pikiran saya itu kok naif,” sambung Ulil. Mengapa Papua sebaiknya dimerdekakan, Ulil beralasan: “Biaya mempertahankan Papua mahal sekali. Sudah begitu, apapun yg diperbuat pemerintah pusat, akan dianggap salah terus. Capek!”

Rakyat Indonesia pasti tahu bagaimana sinisme publik terhadap perjuangan kemerdekaan Timor Leste dari Indonesia. Setelah referendum digelar, muncul opini dari berbagai kalangan. Ada yang bilang kalau pertahankan Timor Leste percuma karena selama ini pembangunan negeri tetun itu semuanya dari sumber dana APBN dan tak ada kekayaan alam yang bisa di suplai Timor Leste untuk pemerintah pusat. Diskursus tersebut bisa saja menjadi alasan Ulil dalam memandang masalah Papua seperti yang sudah dia ungkapkan.

Menurut pandangan Ulil, Ibarat kehidupan perkawinan, kalau salah satu pasangan tak mau lg bertahan dlm ikatan perkawinan, masak harus dipaksa,” Serta masalah Papua tak akan selesai dalam waktu dekat. Butuh proses lama. Itu fakta politik yang harus disadari semua pihak. Masalah Papua bukan semata mata soal keadilan ekonomi. “The problem is, many people there feel they don’t belong to Indonesia!” tegas Ulil.

Soal Papua merdeka sebagian rakyat Indonesia setuju dengan Ulil, namun menyerahkan sepenuhnya kepada pemerintah untuk menyelesaikannya. Penyelesaian masalah terus di bayangi oleh berbagai kekuatan dan kepentingan. Negarawan dan agamawan punya pandangan masing-masing. Kalangan nasionalis NKRI tentu punya pandangan berbeda dengan pandangan kaum nasionalis konservatif. 
Begitupun pandangan pribadi seseorang berbeda dengan pandangan partai atau lembaga dimana individu tersebut bernaung. Papua di mata jajaran jenderal pun menjadi pertarungan antara mempertahankan NKRI dengan karier maupun uang yang banyak.

Pernyataan Tokoh Jaringan Islam Liberal (JIL) yang belakangan menjabat Ketua Pusat Pengembangan Strategi dan Kebijakan DPP Partai Demokrat, Ulil Abshar Abdalla yang menginginkan Papua merdeka saja disayangkan oleh Romo Anselmus Amo, yang manyatakan Ulil tidak perlu bersikap seperti itu. “Tidak perlu seperti itu, kebijakan-kebijakan sudah ada, tetapi dicari yang keliru, bukan perang kebijakan, “ tuturnya ketika diwawancarai itoday, Selasa (19/6). Bagi Romo Anselmus, masalah Papua bukanlah persoalan membiarkan permasalahan begitu saja dalam artian menyerah dan pasrah, melainkan mencari solusi, bukan membiarkan masalah tersebut terus berlarut-larut.

Lanjut Romo, timbulnya kekerasan dan penembakan misterius di Papua dikarenakan kegagalan program Otonomi Khusus (Otsus) yang dicanangkan Pemerintah Pusat. Kegagalan program tersebut kemudian dilanjutkan dengan pendekatan kekerasan oleh pemerintah, sehingga memunculkan reaksi dan pelanggaran HAM. “Sebagai tokoh agama, saya tidak mau kekerasan, “ tegasnya. Mengenai adanya suara-suara yang terus mempromosikan kemerdekaan Papua, Romo Anselmus yang juga tokoh agama di Papua ini menilai bahwasanya sikap mendorong kemerdekaan bukanlah solusi akhir atas masalah yang terjadi di Papua. Baginya, merdeka dari NKRI adalah sikap menyerah yang tak berdasar.

Menurut saya pernyataan Ulil diatas tidak menyelesaikan masalah, dan cenderung melempar bola panas saja. Bahkan dialog antara pemerintah dengan rakyat Papua yang menjadi rekomendasi Lembaga Ilmu Pengetahuan (LIPI) dengan Jaringan Damai Papua (JDP) sudah gagal total. 
Masalahnya sudah jelas, bahwa Jakarta ( pemerintah ) berulang kali pakai senjata untuk bungkam aspirasi Papua, bukan dengan cara dialog. Konflik yang berkepanjangan di Papua salah satu fakta bahwa jalan dialog sudah basih. Jadi harus ada cara lain. Bahwa dialog untuk menemukan ” cara ” menyelesaikan masalah Papua harus di galang, tetapi sangat kacau bila dialog dianggap sebagi solusi penyelesaiaan masalah Papua.

Sejak abad 20 ( era liga bangsa bangsa ) sampai era PBB, soal Papua selalu menjadi keputusan politik internasional. Mulai dari menarik batas yang membagi satu pulau jadi dua negara hingga konsensi ekonomi dunia yang melahirkan proses demokrasi mati suri, pelanggaran HAM tak pernah di ungkap. Maka itu proses penyelesaian Papua pun tak sekedar ditempuh melalui perbincangan saja tapi butuh konsolidasi internasional yang matang.

Foto: Anak Buah Presiden di Demokrat Dukung Papua Pisah Dari NKRI Konflik Papua akhir-akhir ini memicu beragam pendapat bahkan statemen yang di keluarkan oleh berbagai kalangan.


Tak salah bila ikut “perkeruh ” konflik datang dari pentolan partai demokrat yang salah satu pembinanya adalah presiden Republik Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono. Pernyataan petinggi PD ini merupakan bola panas yang sudah menjadi praktik partai politik selama ini. Apa tujuan pernyataan miring yang mendukung Papua di biarkan saja merdeka ( lepas dari NKRI ).

Jelas ada maksud dari opini petinggi demokrat tersebut. Situs online ( itoday ) melansir status salah satu petinggi demokrat yang juga tokoh jaringan islam liberal. “Apakah kita masih harus mempertahankan Papua? Bagaimana kalau dilepaskan saja? Rumit!”, tulis Ulil di akun twitternya. Lanjutnya, “Saya dulu jg berpikir, Papua harus dipertahankan dg harga apapun. Tapi saya merasa pikiran saya itu kok naif,”

Sambung Ulil. Mengapa Papua sebaiknya dimerdekakan, Ulil beralasan: “Biaya mempertahankan Papua mahal sekali. Sudah begitu, apapun yg diperbuat pemerintah pusat, akan dianggap salah terus. Capek!” Rakyat Indonesia pasti tahu bagaimana sinisme publik terhadap perjuangan kemerdekaan Timor Leste dari Indonesia. 

Setelah referendum digelar, muncul opini dari berbagai kalangan. Ada yang bilang kalau pertahankan Timor Leste percuma karena selama ini pembangunan negeri tetun itu semuanya dari sumber dana APBN dan tak ada kekayaan alam yang bisa di suplai Timor Leste untuk pemerintah pusat.

Diskursus tersebut bisa saja menjadi alasan Ulil dalam memandang masalah Papua seperti yang sudah dia ungkapkan. Menurut pandangan Ulil, Ibarat kehidupan perkawinan, kalau salah satu pasangan tak mau lg bertahan dlm ikatan perkawinan, masak harus dipaksa,” Serta masalah Papua tak akan selesai dalam waktu dekat.

Butuh proses lama. Itu fakta politik yang harus disadari semua pihak. Masalah Papua bukan semata mata soal keadilan ekonomi. “The problem is, many people there feel they don’t belong to Indonesia!” tegas Ulil.

Soal Papua merdeka sebagian rakyat Indonesia setuju dengan Ulil, namun menyerahkan sepenuhnya kepada pemerintah untuk menyelesaikannya. Penyelesaian masalah terus di bayangi oleh berbagai kekuatan dan kepentingan. Negarawan dan agamawan punya pandangan masing-masing. Kalangan nasionalis NKRI tentu punya pandangan berbeda dengan pandangan kaum nasionalis konservatif.

Begitupun pandangan pribadi seseorang berbeda dengan pandangan partai atau lembaga dimana individu tersebut bernaung. Papua di mata jajaran jenderal pun menjadi pertarungan antara mempertahankan NKRI dengan karier maupun uang yang banyak.

Pernyataan Tokoh Jaringan Islam Liberal (JIL) yang belakangan menjabat Ketua Pusat Pengembangan Strategi dan Kebijakan DPP Partai Demokrat, Ulil Abshar Abdalla yang menginginkan Papua merdeka saja disayangkan oleh Romo Anselmus Amo, yang manyatakan Ulil tidak perlu bersikap seperti itu. “Tidak perlu seperti itu, kebijakan-kebijakan sudah ada, tetapi dicari yang keliru, bukan perang kebijakan, “ tuturnya ketika diwawancarai itoday.
Read more...

Papuan rebel leader Danny Kogoya vows to keep fighting Indonesia despite amputated leg

1 komentar
A commander of a Papuan militant group who had half his leg amputated because of a gunshot wound has vowed to return to the jungle to fight against Indonesian rule.

Speaking from a rebel training camp just inside the Papua New Guinean border, Danny Kogoya says he was unarmed and surrendering when police shot him below the knee last year.
Indonesian police say he was resisting arrest. 

Now at his PNG hideout, known as Camp Victoria, Mr Kogoya's fellow rebels are holding a small show of arms. 


Displaying homemade rifles, bows and arrows and with some wearing ceremonial headdresses and shell necklaces, they rally around the Morning Star flag - the symbol of West Papuan independence that is banned in Indonesia. 

They have no bullets but they say they want to fight the Indonesians.
For almost 50 years the Free Papua Movement (OPM) has fought against Indonesia's control of Papua and West Papua province.

Mr Kogoya is a commander for the OPM's militant wing. He says his leg was amputated without his permission while he was jailed on manslaughter charges last year. 

"This leg was amputated for the Free Papua Movement. I am asking for independence... I am asking for West Papua to exit the Republic of Indonesia," he said. 

After his release from prison, Mr Kogoya says police threatened to re-arrest him, so he fled across the border to Papua New Guinea.

Now, he says he will get the remaining shotgun pellets removed from the stump of his leg, find a prosthetic limb and return to the bush to keep fighting.

Allegations of atrocities hard to verify

Since the 1960s, the armed wing of the Free Papua Movement has conducted a low-level insurgency within Indonesia.

Allegations of atrocities committed by Indonesian forces within Papua and West Papua province are difficult to check because the international media is kept out.

It is also hard to get a real sense of the strength of the West Papuan militants.
Mr Kogoya says he commands a standby army of 7,000 men, with around 200 active fighters, but those figures cannot be verified.

Camp Victoria has played an important role in the history of the West Papuan independence movement. 

It has been a training camp, a gateway from Indonesia to Papua New Guinea and a place where rival factions have split and reunited. But what role it will play in the future of the West Papuan struggle is unclear.

PNG signs extradition deal with Indonesia

Last month Papua New Guinea and Indonesia signed an extradition treaty, which PNG's opposition says could be used to target West Papuan activists. 

"I think that is the cooperation between the Papua New Guinean and the Indonesian government. That's their issue. Not West Papua. We will keep on fighting until we are independent," he said. 

PNG prime minister Peter O'Neill says the extradition treaty will be used for criminals and not political activists, but for those who could be considered both it is yet to be tested. 

"We have had a policy that the issue of West Papua is an integral part of Indonesia. We have consistently maintained that," he said. 

"But we are encouraged by the invitation by the Indonesian government through the president for the first time in its history to help in managing some of the issues on the ground in West Papua." 

Mr Kogoya, meanwhile, is calling for all West Papuan activists living abroad to return to Camp Victoria and continue their struggle. 

"I want Jacob Prai in Sweden, John Ondawame in Australia, all those leaders abroad to come back to this camp, Camp Victoria, to continue the struggle for independence," he said.

Source: ABC News

More : Amputation won't prevent West Papuan militant leader from fighting


Read more...
Selasa, 09 Juli 2013

Mahasiswa Lanny Jaya Mengadukan Kasus Alince Tabuni Ke Komnas HAM Papua

0 komentar
4 Anggoat TNI Saat Itu Melakukan penembakan Olince Tabuni
HolandNews, Jayapura, Mahasiswa yang tergabung dalam Himpunan Mahasiswa Lanny Jaya (HMLJ), Melakukan aksi protes sekaligus mengadukan kasus penembakan Bocah Elince Tabuni (12Th), Kepada komnas Ham perwakilan Papua.

Dalam pengaduaanya, mahasiswa menilai aparat TNI/kopasus yang paling bertanggung jawab atas kematian anak kecil itu, aparat bermanufer atas kematian seoarang bocah Olince Tabuni yang tak berdosa, dan dalam pemberitaannya Polda papua klaim bahwa OTK yang menembak mati si bocoh itu. ternyata sangat kontradiksi dengan fakta lapangan.

Kami meminta Polda papua dan Pagdam cenderawasih jangan berbohong dan harus klarifikasi atas pemberitaan sebelumnya, karena fakta lapangan berbeda dengan pemberitaan di media masa.

Ini Kronology versi saksi mata:

Saksi Maik Morib (35),

Senin, 01 Juli 2013, Sekitar pukul 14.00 WP di kota Tiom terdengar beberapa kali tembakan oleh aparat keamanan TNI. Untuk menghentikan Aksi ribut masyarakat di Polsek Tiom sesudah penyelesaian perkara kriminal yang tidak selesai.

Sekitar pukul 17.30 WP (sore) di kampung Popume, Distrik Mukoni, Kabupaten Lani Jaya. Maik Morib (35), memberikan data korban dan kronologi sebagai berikut:

Identitas korban
Nama   : Arlince Tabuni,
TTL     : 17 Oktober 2001
Umur   : 11 tahun
Status  : Tidak sekolah

Keluarga : Anak ke tiga dari gembala Yuni Tabuni, dari gereja baptis di Guneri I,
teman kembarnya bernama Arlin Tabuni (masih hidup).

Saya sedang Berdiri di tempat jualan dengan ibu-ibu di pinggir jalan begini, terlihat ada mobil yang ramai datang membawah sekitar 4 orang anggota TNI/kopasus, dengan peluru lengkap dengan siaga, seolah-olah akan tembak.

Mereka panggil Bapak Regi Mom dan kami pergi ketemu mereka (TNI), lalu mereka tanya, di Balingga ini gerombolan/OPM ada itu di mana?

Kemudian saya sampaikan bahwa saya yang tanda tangan untuk pemekaran kabupaten Trikora di Panglima itu, dan kami juga jaga bendera merah putih yang kamu kasih dan buku alkitab itu saja sampai saat ini.

Lalu mereka katakan ok baik, lalu pergi/turun ke arah bawah, kemudian tidak lama kami dengar 3 kali bunyi tembakan peluru yang keluar dari arah bawah, lalu kami kaget dan pikir ini pancing masalah saja.

Kemudian langsung menuju ke arah tembakan atau mereka, lalu kami pergi ke arah kebun dan melihat ternyata kami temukan korban tewas, lalu kami katakan, anak kami sudah dibunuh, ini ada korban, ini anak gembala, lalu kami bilang: “komandan hormat, permisi,” kami membalik tubuh korban baru lihat begini, kami tahu bahwa ini anak gembala namanya Elince Tabuni, lalu kami katakan mengapa tembak begini, anak kecil tahu apa...! Dia tidak tahu apa-apa ko di tembak?

Lalu mereka (TNI) suruh kami panggil dia punya bapa itu, lalu kami kembali, dan kami periksa korban, kemudian kami lihat korban kena tembakan peluru di dada.

Lalu kami mulai angkat korban dan bawah ke gereja di atas lalu, kami pikir dan Bapak Gembala Eli Wenda katakan, ini Pemerintah yang bunuh jadi, kita bawah saja ke kota Tiom saja, lalu kami antar ke rumah sakit umum daerah Tiom. Sekitar pukul 19.00 atau jam 7 malam jenazah diantar ke RSUD Tiom.

Mahasiswa Lanny Jaya Mengadu Ke Komnas HAM Papua
 Selanjutnya Mahasiswa menuntut kepada TNI/Polri bertanggung jawab atas penembakan ini, Komnas HAM diminta Harus mengusut kasus ini seadil-adilnya, dan kami meminta advokasi hukum kepada semua pihak agar hal-hal seperti begini tidak terulang lagi.



Read more...
Senin, 08 Juli 2013

Fr Vincent: Church Calls for Humanitarian Crisis in West Papua

0 komentar
Fr. Vincen Suparman
HolandNews,-- Church leaders in Papua must unite and involve his people in NGOs, SKP, campus and factions as well as the organs of movement in Papua to jointly called on the humanitarian crisis in Papua to the national and international level.
Father Vincent Suparman, SCJ, Wednesday (26.06.13) to Majalah Selangkah said, the churches in Papua must unite to call for the humanitarian crisis in Papua. Five bishops in Papua and the Synod of the Christian churches in Papua must unite.
"To be united and stand up to voice all sorts of inhumane acts that are being experienced by his people in Papua."
"Over 10 years of serving in the jungles of Papua, I saw the people there, in addition to live suffering economically, is still living under violence and pressure the Indonesian military. Uncertain future of Papua, Papuan people want to worship forbidden, wrote a book about Papua prohibited, record song demos Papua prohibited and would also be banned. All the activities are considered treason and prosecuted to the unjust persecution, "said Fr.
Father continued, the Papuans had many casualties, not to mention the occupation and the killing is happening in Papua. Then, he said, the Papuans should unite and fight for a peaceful life in their own country.
"I see, there are a number of problems in Papua was the root of the problem is the merging history of Papua to Indonesia," said Father who is now serving a church in Fort Thompson, the United States.
Father continued human rights violations in Papua, Papuan history due. Papuans Papuans claim history is not final because the referendum (the Act) in 1969 violated international law. While Indonesian Papua historical claims is final by the Act.
The solution according to him is through a dignified dialogue mediated by a neutral third party such as that encouraged by Father Neles Tebay through the Papua Peace Network.
"I think the voice of the people of Papua became the capital of the bishops and the Vatican for support," said Father Vincent of Amerikan States.
Father stressed, Papua everyone should care about the future of the Papuans themselves. "Do not just accept the fact poorly kept, there should be an attitude of resistance against all forms of colonialism. Relive the life and resurrection of the spirit of the era of 1961/1962 which had extinguished it," he said
Read more...

UN envoy told to press Indonesia on housing rights

0 komentar
Defending rights: In this stock photograph dated June 4, farmers and activists rally in front of the National Land Agency in Jakarta to call for an end to land grabbing and the implementation of agrarian reform. Many people have been displaced due to agrarian conflicts in Indonesia, activists say. (JP/Jerry Adiguna) in The Jakarta Post

Human rights groups have called on the United Nations special rapporteur on housing rights, Raquel Rolnik, to demand that the Indonesian government immediately resolve cases of housing rights violations, such as forced evictions and the forced expulsion of minority groups.

Rolnik, who arrived in Indonesia on May 30 and will be in the country until June 11, is scheduled to meet with senior government officials, representatives of the UN system, the donor community, NGOs and the public during her visit.

She is also scheduled to publicize her findings on the last day of her visit and report her recommendations on housing rights in the country to the UN Human Rights Council in March 2014.

“The President recently received an award in recognition of his work in supporting human rights. With the award that was recently given to him and a visit from the UN rapporteur, this is the right time for him to show the public that he really is committed to upholding human rights,” Rafendi Djamin, the country’s representative to the ASEAN Intergovernmental Commission on Human Rights (AICHR), said recently.

Human rights groups, including the Human Rights Working Group (HRWG), the Indonesian Forum for the Environment (Walhi), the Jakarta Legal Aid Institute (LBH Jakarta), Arus Pelangi and the Indonesian Women’s Coalition, had a meeting with Rolnik in Jakarta on June 3 where they expressed their concerns over the inadequate housing rights in the country.

Ali Akbar Tanjung of the HRWG said the human rights groups had called on Rolnik to recommend that the government resolve agrarian conflicts and review its policies on natural resources that have harmed the public’s housing rights.

“We also urged her [Rolnik] to ask corporations to practice responsible business practices, as in the past they have caused a lot of people to lose their homes and livelihoods,” Ali said.

Tumpak Hutabarat of Walhi said the NGO had recorded 613 conflicts regarding natural resources and plantations in the country last year, including the conflict between PT Perkebunan Nusantara (PTPN) VII and residents in Ogan Ilir in South Sumatra.

The rights groups also urged the Jakarta administration to provide adequate housing for the victims of forced evictions in Jakarta. LBH Jakarta recorded that 2,545 people had been affected by forced evictions and did not have access to adequate housing last year. The number had significantly increased from 1,176 a year earlier.

“Our data also showed that last year the country experienced 503 natural disasters including floods, landslides and forest fires,” Tumpak said on Thursday.

Rafendi said that the right to adequate housing did not solely mean putting roofs over people’s heads but also included people’s rights to adequate sanitation, access to clean water and health services.

Meanwhile, King Oey from Arus Pelangi said that violations of adequate housing rights did not only befall victims of agrarian conflicts, but also minority groups including those in the lesbian, gay, bisexual and transgender (LGBT)
community.

“A lot of forced evictions were carried out by local residents with the help of local administrations due to discrimination against minorities,” King said.

“The government did not protect these people and they lost their homes just because other local residents did not want to share their neighborhoods with people of a different sexual orientation,” he said.
Read also:
Read more...

Indonesia urged to be transparent on human rights record

0 komentar
A human rights group coalition has urged the Indonesian government to be more open in reporting the country’s human rights situation when it presents a report in a United Nations’ session in Geneva later
this week.

The Indonesian government delegation is scheduled to present a report on the implementation of International Covenant of Civil and Political Rights (ICCPR) during the Human Rights Committee session in Geneva, Switzerland on July 10 and 11.

It will be the first Indonesian report examined by the committee after eight years of Indonesian ratification of the ICCPR. The Indonesian House of Representatives ratified the ICCPR by enacting Law No. 12/2005 (UU no. 12/2005).

“We hope the government will be more open about the human rights situation in the country after it ratified the covenant,” said executive director of the Human Rights Working Group (HRWG) Rafendi Djamin over the weekend.

He noted that covering up the real facts of the human rights situation or refusing to acknowledge the truth would run against the spirit of the country as a state-party to the ICCPR.

Rafendi gave the example that there had been widespread torture and ill treatment against detainees, especially the poor and alleged terrorists.

In its report, the government said: “It is important to emphasize that in a democracy where media is free and transparency is one of the essential elements, occurrences of any misconduct against detainees is always exposed to the public, including the way the relevant authorities address the incident. However, categorizing the incident of torture in detention facilities as widespread is an exaggeration.”

HRWG UN program manager Ali Akbar Tanjung added that openness in presenting the report would be essential. Since the committee consisted of experts, their recommendation would be important for the government’s efforts to ensure human rights protection.

“It differs with the UPR [Universal Periodic Review] when its recommendations could have political nuance, since the government’s report was reviewed by fellow member states,” Akbar said.

 HRWG, representing some 50 civil society groups across the country, has indicated that eight years after the ratification, human rights protection is still not getting better.

“It would be difficult to not say that the human rights protection was not improving,” Rafendi added.

Therefore, civil society hoped the first committee session would be a test of government openness and consistency of its commitment on human rights protection, including rehabilitation and restitution for victims.

HRWG has submitted its report to the committee, underscoring several issues to be highlighted
in the upcoming recommendation: protection of religious minorities, women and LGBTI, the situation in Papua, torture of detainees, the death penalty and bylaws that contradict human rights principles and norms.

The Human Rights Committee is a body of independent experts that monitors the implementation of the ICCPR by its state parties. All state parties are obliged to submit regular reports to the committee on how the rights are being implemented. States must initially report one year after acceding to the covenant and then whenever the committee requests (usually every four years).

The committee meets in Geneva or New York and normally holds three sessions per year. It examines each report and addresses its concerns and recommendations to the state party in question in the form of “concluding observations”.

The committee’s 108th session will be held from July 8 to 26. 

More Orginal News:The Jakarta Post News

Read more...

Indonesia’s West Papua policies in the spotlight at ABC’s Q&A

0 komentar
Pacific Scoop Report – By Michael Sergel

Asylum seekers and West Papuans were prime time talking points on Australian television last week, as ABC hosted a ground-breaking debate on Indonesia-Australia relations live from Jakarta.

Senior vice-presidential advisor Dewi Fortuna Anwar fronted questions about corruption and human violations in her own government – and unprecedented questions about conflict and censorship in West Papua.

Journalists, advocates and academics also talked frankly about corruption scandals, human rights violations, the live cattle trade and Australia’s so-called “refugee crisis” in the special edition of political panel show Q&A.

Interim Australian Prime Minster Kevin Rudd was in Jakarta for diplomatic talks, but it was the upcoming election on Australian soil that drove the sixty minute conversation.


The ‘Papua problem’

Anwar said the government was making significant progress on democratic rights – while accepting the ongoing corruption and human rights issues that face the country.

But she was defensive about the government’s sensitivity to separatism and self-determination in West Papua and other parts of Indonesia – and said the government had the support of its people, the international community and even the Australian government.

The country had always been “very vulnerable” to internal struggles against the state and was still in a “state of being”, she said.

“We’re trying to create one nation out of a multi-ethnic group. We’re trying to develop into one territory with 70,000 islands and very poor connectivity.”

Indonesian journalist Yuli Ismartono was also defensive of the crackdown on separatism, which has been criticised by Australians, New Zealanders and the international community.

She said the sympathy for the West Papuan cause was due to an inherent media bias, and claimed the independence struggle was an anti-government minority limited to the Papua province.

Human rights advocate Rafendi Djamin tried to contextualise the deadly conflict that has claimed hundreds of thousands of lives, suggesting that the legacy of totalitarian rule was continuing to unfold in the Papuan provinces.

He said ending the ban on international journalists and the UN Special Raconteur would involve a slow and complex negotiation, but the government needed to respect basic freedom of expression rights in the region.

Asylum seekers

The panellists also discussed the game of asylum seeker hot potato both countries have been playing over several years.

With ongoing accusations that Indonesian authorities are involved in people-smuggling between the two countries, Anwar argued for a zero-tolerance approach to bribery and corruption in the government.

But she believed many Australians expected too much of the Indonesia. The country had extensive land and sea borders, its waters were dangerous, and monitoring and turn-back policies would not work, she said.

She urged both governments to look beyond bilateral negotiations between election terms, and come up with regional and international solutions aimed at the underlying causes of displacement.

Journalist Meidyatama Suryodiningrat said displacement was rooted in conflict in Sri Lanka, Pakistan, Afghanistan and Iran, and it was here that smuggling networks began.

He said smuggling was the last resort for people that had spent months or years in Indonesian detention centres.

Human rights protection

Djamin said the collaborative policies and shared rhetoric of the Australian and Indonesian governments used the inherent dangers of smuggling people across dangerous waters to justify the detention and punishment of vulnerable people.

“Is this a question of border protection or human rights protection?,” he asked the panel.
“When there’s a crisis in Syria 1.7 million people cross the border, and what we are talking about between Indonesia and Australia is less than 10,000.”

He believed the rhetoric of protection was being used to convey a practice of law enforcement.
“Giving money to the Indonesian government for detention is not the human rights approach to the protection of people,” he said.

Muslim religious tolerance advocate activist Yenny Wahid said the asylum seeker smuggling was just “fodder for domestic political consumption in Australia”.

She believed it missed the wider goal of finding an effective, realistic and humane solution to the humanitarian crisis, and was standing in the way of progress.

Bipolar relations

Indonesia is a fast-growing ASEAN economy, focused on its relationship to its South East Asian neighbour states and largely shaped by its strong Muslim population.
Australia, by contrast, is a western-style country with strong political connections to the United States, and very strong cultural connections to New Zealand and the Pacific.

That obvious cultural divide was not lost on the panel. Indonesians, they said, knew Australians by the often intolerant bogans who partied on Bali beaches rather than by the country’s gradual focus on Asia.

And Australia knew Indonesians, they said, by the earthquakes, religious radicals and drug-smuggling cases reported in the media rather than by the country’s transition to democracy.

Asian law specialist Tim Lindsey believed this made the often tense, complex and asymmetrical relationship almost “bipolar” in nature.

Lindsey believed growing public ignorance and antagonism and falling migration between the countries was drawing the two nations apart.

At the same time, common goals and interests were drawing the two governments closer together.
The result, he said, was a fragile and volatile relationship that could be stressed further if the future Australian prime minister chooses to rock the water.


Michael Sergel is a Postgraduate Diploma in Communication Studies (Journalism) student, who recently completed the Asia-Pacific Journalism course at AUT University.
Read more...

Papuan independence activists Want to Become a Member of MSG

0 komentar

Papuan independence leader said that membership in the Melanesian Spearhead Group (MSG) would be a major breakthrough.

Activists Papua Merdeka, OPM in Vanuatu said membership in the Melanesian Spearhead Group will be a major breakthrough in the struggle for independence from Indonesia.

West Papua National Coalition, KNPB for the liberation of Papua have been invited to the summit of MSG coming in Noumea by political groups Kanak indigenous New Caledonia, FLNKS (Kanak Socialist Front for National Liberation).

This is the first time activists Papua Movement will attend gatherings countries of Melanesia as an independent entity.

An application has been filed to give and receive full membership.

Andy Ayamiseba, lobbyists from Papua to the program Pacific Beat-Radio Australia says if the submission is successful, it will increase the status of the campaign for independence from Indonesia.

"By having the support of the immediate area we ... the international community will see that, yes, it was an area where West Papua have given their support,"


Read more...

MONTREAL SHOWS SUPPORT FOR A FREE WEST PAPUA

0 komentar
MONTREAL RIZES UP!! What an amazing show, amazing crowd.. it all came together. Thankyou one and all. 3 powerhouse women rizing to the occasion, this is a particularly special moment, please take a moment to read why.

This weekend marked 15th Anniversary of the Biak Massacre in West Papua. The two women holding the Morning star (West Papuan) flag are Lea and Petra Rumwaropen, backing singers for Blue King Brown who come from Biak, West Papua. Whilst we were performing and using our platform to stand in solidarity in Montreal, global actions were taking place to mark the day. 

There was a citizens tribunal taking place in Sydney Australia, prepping a case for further investigations and course of action to bring the perpetrators of the massacre to justice. There was also street actions taking place London.. The movement is being Globalized, as Natalie states, "We are calling for the Globalization of Justice!"

Lea and Petra's family were forced to flee West Papua and their home island of Biak many years ago for fear of the their safety. The massacre which took place in Biak is unacceptable, we can not idly sit by and allow it. Petra states "Remembering the victims of the Biak Island massacre 15 years ago today...The dead cannot cry out for justice it is the duty of the living to do so for them.. #FreeWestPapua"..

"Thank you from the bottom of our hearts. to the audiences so far on the #RizeUp tour for choosing to raise your fists and stand in solidarity with us."
Respect... Lea, Petra, Natalie and Blue King Brown..

MERDEKA!  by Free West Papua

Read more...

Socratez: Mengapa Tokoh Papua Diam?

1 komentar
Socratez Sofyan Yoman Photo Binpa
JAYAPURA - Salah seorang Tokoh Gereja Asal Pegunungan Tengah yang juga sebagai  Ketua Umum Persekutuan Gereja Baptis Papua (PGBP), Socratez Yoman, mengatakan, Duta Besar Belanda, Tjeerd De Zwaan setelah pertemuan dengan Polda Papua, tokoh masyarakat, tokoh adat, tokoh agama dan tokoh pemuda di ruang Rupatama Mapolda Papua Selasa, (2/7) lalu,  dimana dalam pertemuan itu Duta Besar Tjeerd De Zwaan mengharapkan agar mendapatkan jawaban yang baik tentang penerapan Otsus Plus, namun tidak satupun Tokoh Papua yang hadir saat itu memberikan jawaban kepada Duta Besar Tjeerd De Zwaan.

  Atas hal itu, dirinya menjadi tanda tanya, mengapa tokoh-tokoh di dalam forum tersebut  diam dan tidak menjawab pertanyaan Dutas Besar Tjeerd De Zwaan tentang Otsus Plus tersebut. Apakah tokoh-tokoh ini tidak tahu masalah yang terjadi di Papua? mengapa mereka terkesan  takut. Harusnya kata dia para tokoh yang hadir itu memberikan jabawan yang sebenar-benarnya sesuai dengan kondisi riil yang ada, bukan sebaliknya terkesan diam.

  Dengan diamnya para tokoh ini, membuat  Socratez yang terkenal  volak  ini  menjadi bertanya lagi, apakah kondisi ini memperlihatkan bahwa tokoh-tokoh Papua sudah dilumpuhkan dengan siasat licik Pemerintah Indonesia? apakah ini bukti bungkamnnya kebebasan berpendapat dan matinya demokrasi di Papua selama ini.

  “Ini yang menjadi pertanyaan besar bagi saya terhadap pertanyaan Dubes Belanda yang tidak dijawab tersebut,” ungkapnya kepada Bintang Papua via ponselnya, Sabtu, (7/7).

  Baginya, mestinya para tokoh-tokoh masyarakat dan tokoh adat di Papua, harus tetap menyampaikan fakta yang sebenarnya yang terjadi selama ini di Papua baik kepada Dubes Belanda maupun kepada dunia internasional.

  Karena yang namanya orang yang ditokohkan masyarakat, harus memiliki beban moril dalam memperjuangkan apa yang menjadi permasalahan masyarakat saat ini maupun kedepannya, bukan diam membisu karena telah dibungkam oleh para pengusaha di Negeri ini.

 “Anda boleh bungkam di dunia ini, tapi di akhirat anda tidak bisa bungkam, karena setiap kata, kalimat  perbuatan itu dipertanggungjawabkan dalam pengadilan terakhir pada akhir zaman,” imbuhnya

Sumber: Bintang Papua
Read more...

Labels

 
HOLANDIA NEWS © 2011 DheTemplate.com & Main Blogger. Supported by Makeityourring Diamond Engagement Rings

You can add link or short description here