Translate

Share

HN. Diberdayakan oleh Blogger.
 
Selasa, 10 Desember 2013

Otsus Plus Kenapa Harus Tanya Ke Publik Ameria Serikat Bukan Papua

0 komentar
Godokan Otsus Plus tidak libatkan pemiliknya yakni rakyat papua, sekarang Felix, Enembe dan SBY akan bawa draf ini ke publik amerika, apa hubungannya dengan amerika, bukannya ini kepetingan rakyat papua?

Photo Protes rakyat papua Tolak Otsus

Jakarta (Antara) - Kebijakan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Gubernur Papua Lukas Enembe tentang "Triple Track Strategy" dengan Otonomi Khusus Plus untuk Papua disampaikan ke publik Amerika Serikat dari berbagai kelompok strategis.

Kantor Staf Khusus Presiden dalam keterangan resmi yang diterima Antara di Jakarta, Rabu, menyebutkan hal itu disampaikan oleh Staf Khusus Presiden, Velix Vernando Wanggai, dan Kepala Biro Hubungan Masyarakat dan Protokol Pemerintah Provinsi Papua, Fransiscus Xaverius (FX) Mote, di Washington DC, AS, 9 Desember lalu.

Pada kesempatan tersebut, Frans Mote dan Velix Wanggai beserta Asisten Staf Khusus Presiden yakni Moksen Sirfefa, Alex Kapisa, Profesor Mas`ud Said, dan Sandra Erawanto, bertemu dengan Duta Besar Indonesia untuk Amerika Serikat, Dr Dino Patti Djalal.

Setelah "policy briefing" tentang Papua di Kedutaan Indonesia berakhir, Velix Wanggai dan FX Mote berdialog secara terbatas dengan Edmund McWilliams, seorang mantan diplomat Amerika Serikat, yang saat ini menjadi aktivis hak asasi manusia, termasuk aktif di West Papua Advocacy Team (WPAT) dan the East Timor and Indonesia Action Network (ETAN).

Selama ini, Ed McWilliams aktif menulis berita-berita Papua di berbagai media internasional dari prespektif aktivis Barat. McWilliams mengkritisi kebijakan transmigrasi, pembatasan jurnalis dan aktivis asing ke Papua, kebebasan ekspresi, maupun kekerasan bagi aktivis Papua.

Merespons kritikan itu, Velix Wanggai menyampaikan telah banyak perubahan yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia, termasuk Pemerintah Provinsi Papua.

Di era demokrasi dan desentralisasi saat ini, negara menjamin kebebasan rakyat untuk berpendapat, berorganisasi, dan berekspresi. Kebebasan pasti kepastian tanggung jawab, tidak melanggar hukum, atau tindakan kriminal.

Apalagi, dengan "payung hukum" Otonomi Khusus, maka Pemerintah Provinsi Papua telah meninjau kebijakan transmigrasi, bahkan di tingkat nasional, Kementerian Transmigrasi juga melakukan reorientasi dan "refocusing" kebijakan transmigrasi.

Dalam serangkaian acara itu, Velix Wanggai menjelaskan "Triple Track Strategy" yang menjadi desain besar kebijakan Presiden SBY dalam mengelola Papua.

Pertama, kebijakan Papua Tanah Damai melalui langkah-langkah untuk mengakhiri konflik menuju Papua yang damai dan harmonis.

Kedua, kebijakan untuk rekonstruksi UU No. 21/2001 menuju Otonomi Khusus yang diperluas atau plus (the expanded special autonomy).

Ketiga, kebijakan pembangunan yang komprehensif dan ekstensif untuk Papua.

Ketiga langkah itu menjadi kesepakatan penting dalam pertemuan Presiden SBY dengan para pemimpin Papua, baik Gubernur Papua Lukas Enembe, Wakil Gubernur Klemen Tinal, Ketua MRP Timotius Murib, dan Ketua DPRP Yunus Wonda, di Kantor Presiden pada 29 April 2013.

Didampingi Velix Wanggai, FX Mote menyebut Pemda Papua sedang intensif mendesain formula otonomi khusus yang diperluas atau plus. Presiden SBY memberikan ruang bagi rakyat Papua untuk merumuskan skenario kewenangan dalam payung otonomi khusus plus ini.

Harapannya, kewenangan yang luas ini menjadi fondasi bagi Papua Bangkit, Mandiri, dan Sejahtera.
Melengkapi pendekatan struktural ini, Pemerintah juga menerapkan pendekatan kultural dalam menyelesaikan persoalan-persoalan yang dihadapi dalam mengelola Papua.

Di akhir dialog, Duta Besar Indonesia, Dr Dino Patti Djalal, menekankan bahwa saat ini hubungan Indonesia-Amerika Serikat sedang berada pada titik yang sangat harmonis pascapenandatanganan Kemitraan Komprehensif antara Indonesia-Amerika Serikat (Comprehensive Partnership between Indonesia and The United States).
Pemerintah Amerika Serikat menganggap Indonesia sebagai contoh negara yang berhasil mengelola transisi demokrasi, dan negara yang berhasil menjalankan demokrasi, pembangunan, dan tradisi sosial-budaya secara paralel.

Demikian pula, Pemerintahan Obama juga sangat menghormati kedaulatan nasional Indonesia, termasuk di Papua.

Velix Wanggai dan Frans Mote juga berdiskusi dengan Kathleen Rustici dari lembaga think tank, Centre for Strategic and International Studies (CSIS), dan Brian Kraft, peneliti politik dan demokrasi dari The George Washington University.

Selain itu, acara diskusi "The Devolution of Authority: Managing Papua, Indonesia" digelar di USINDO Washington DC.
Perubahan Papua
Sejalan dengan pesan Velix Wanggai itu, Kepala Biro Humas dan Protokol Pemda Papua, FX Mote menegaskan Gubernur Papua, Lukas Enembe, dan didukung oleh Wagub Klemen Tinal beserta MRP dan DPRP sangat serius untuk mewujudkan komitmen bagi perubahan Papua.

Dengan visi Papua Bangkit, Mandiri, dan Sejahtera, dalam Kasih Menembus Perbedaan, Gubernur Papua Lukas Enembe meletakkan pondasi penting dalam menata Papua.

Menurut FX Mote, dalam enam bulan pertama ini, Gubernur Enembe telah melakukan terobosan strategis, seperti membangun komunikasi yang intensif dengan pihak DPRP dan MRP, serta menyelesaikan kerangka perencanaan pembangunan daerah, baik RPJP, RPJMD, dan RTRW Papua.

Selain itu, memperbaiki skenario alokasi dana Otonomi Khusus menjadi 20 persen untuk Provisi dan 80 persen untuk Kabupaten/Kota, menata struktur birokrasi pemerintah provinsi, mengubah pendekatan program dan proyek yang lebih berpihak ke rakyat, serta mengubah program kampund dari RESPEK menjadi PROSPEK.

Masih sejalan dengan semangat perubahan itu, FX Mote menambahkan bahwa Papua juga bertekad menjadi Tuan Rumah PON XX Tahun 2020.

Momen itu, katanya, penting di dalam memperkuat ikatan kebangsaan, menciptakan bibit-bibit olahragawan, serta mempercepat pembangunan wilayah.

Demikian pula, Velix Wanggai dan FX Mote menyampaikan ke Ed McWilliams dari ETAN maupun peneliti dari CSIS bahwa mengelola Papua ini tidak mudah, namun Presiden SBY maupun Gubernur Papua Enembe bertekad meletakkan fondasi yang penting dengan menambah bobot, terobosan, nilai tambah dalam payung otonomi khusus yang diperluas atau otonomi khusus plus.

Pembobotan kewenangan bagi Papua ini berimplikasi bagi rekonstruksi UU 21/2001, yang diharapkan dapat selesai pada akhir periode kepemimpinan Presiden SBY.

Selain di Washington DC, Velix Wanggai dan FX Mote akan berdialog dengan berbagai kelompok strategis dan kampus di Amerika Serikat di New York, San Francisco, dan Los Angeles.(rr)
Read more...

Aktivis HAM: Pak Presiden Tolong, Tengok Papua

0 komentar
JAKARTA - Direktur Bidang politik dan jaringan Indonesian Human Rights Committe for Social Justice, Ridwan Darmawan, membantah klaim Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang menyatakan bahwa situasi Hak Asasi Manusia (HAM) di Indonesia telah berubah dan membaik. Menurut Ridwan, kenyataannya kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu hingga kini tidak kunjung terungkap.

"Ironisnya, justru makin menjauh dari penyelesaian. Jangankan untuk sekadar jalan menuju penegakan kebenaran dan keadilan, untuk mengakui ada peristiwa pelanggaran berat saja negara abai, apalagi menghukum pelakunya. Ada korban tapi tidak ada pelakunya," kata dia dalam siaran pers yang diterima Okezone, Selasa (10/12/2013).

Sebagai contoh, kata Ridwan, kekerasan yang belakangan terjadi lagi di Papua. Menurut dia, di Papua sedang terjadi pembungkaman demokrasi sekaligus penghilangan HAM.

"Pembungkaman demokrasi terjadi sejak 6 November 2013 ketika Gerakan Mahasiswa Pemuda dan Rakyat Papua berdemonstrasi di depan MRP menolak Otsus plus Papua," ujar Ridwan.

Akibat aksi ini, kata Ridwan, 15 mahasiswa ditangkap dan empat di antara mereka ditetapkan sebagai tersangka.

"Selanjutnya 25 November, di area Kampus Universitas Cendrawasih, 16 aktivis KNPB ditangkap saat akan melakukan aksi damai. 26 November merespon penangkapan tersebut, mahasiwa berencana aksi kembali, namun sebelum aksi, mereka sudah kembali dibubarkan oleh polisi dari Polresta Jayapura," ungkap Ridwan.

Ridwan meminta SBY menengok kekerasan dan pelanggaran HAM di Papua. Presiden SBY memperingati Hari Antikorupsi dan Hari HAM Internasional di Istana Negara, Senin kemarin, dan mengklaim situasi HAM telah berubah dan membaik.

Menurut Ridwan, banyak korban dari demonstrans yang mengalami luka berat, teror, dan intimidasi.

"Pengebirian demokrasi juga terkena bagi para jurnalis yang sedang bertugas di lapangan, ini menyedihkan. Apakah Wajah HAM yang membaik di Indonesia terjadi juga di Papua Pak Presiden?," jelas Ridwan mempertanyaan klaim SBY tersebut.
Read more...
Senin, 09 Desember 2013

Purom Wenda: Kami TPN hanya minta kedaulatan penuh, kemerdekaan, bukan perundingan atau apapun

0 komentar
Lambert Pekikir : Masalah Papua harus diselesaikan dengan perundingan. Antara Indonesia, Papua dan pihak ketiga.

mendorong perundingan damai antara Papua dan Indonesia untuk penyelesaian akar masalah di Bumi Cenderawasih, yang digagas Koordinator Umum OPM Lambert Pekikir, menuai beragam pendapat. Salah satunya datang dari Panglima Tinggi Tentara Pertahanan Nasional OPM Distrik Pirime, Kabupaten Lanny Jaya, Purom Okiman Wenda.

“Silahkan OPM bicara begitu, kami dari TPN hanya minta kedaulatan penuh, kemerdekaan, bukan perundingan atau apapun,” kata Purom Okiman Wenda kepada SULUH PAPUA, Ahad.

Menurut dia, perundingan damai tidak akan membawa harapan bagi kebebasan Papua. Sebaliknya yang terjadi adalah konflik tak berkesudahan dan jatuhnya korban jiwa. “Masalah Papua tidak selesai dengan perundingan, kita tegas, kedaulatan, kalau ada yang ingin perundingan, kami tidak setuju,” ujarnya.

Ia menambahkan, apapun resikonya, pihaknya tetap menuntut merdeka. “Kami bukan minta pemekaran atau kesejahteraan, kami minta kedaulatan, dari dulu TPN selalu begitu.”

Purom termasuk orang yang dicari setelah sejumlah aksinya menewaskan petugas. “Saya tidak takut, saya kuat, anak buah saya banyak,” katanya.

Ia mengatakan, jumlah personelnya mencapai ratusan. “Wilayah Operasi saya di Puncak Senyum, Puncak Jaya dan di Tiom, ada juga operasi di Sinak, anak buah saya, ada yang kentara, ada yang diam diam (bersembunyi),” katanya.

Purom mempunyai sejumlah senjata otomatis hasil rampasan. Salah satunya didapat saat penyerangan terhadap Markas Kepolisian Sektor Distrik Pirime, Kabupaten Lany Jaya, Selasa, 27 November 2012. Tiga polisi tewas ketika itu. ”OPM tembak. Saya yang pimpin penyerangan itu,” kata Purom.\

Purom disebut juga sebagai orang yang bertanggungjawab atas penyerbuan rombongan polisi, Rabu 29 November 2012 di daerah pegunungan. “Mereka (rombongan polisi) menggunakan sekitar 22 mobil. Ada lima yang kami tembak,” katanya.Purom pandai menyamar. Kalau lagi butuh logistik, ia berani turun sendiri ke Kota Mulia, Ibukota Kabupaten Puncak Jaya. 

“Tentara tidak tahu, kami jadi orang (warga) biasa saja.” Purom akan terus mengangkat senjata demi Papua Merdeka. “Saya waktu bulan Juli kemarin, ada naikan Bintang Kejora, itu bukti bahwa saya masih ada, kita akan berjuang sampai mati.”Aksi terakhir Purom, adalah ketika memberondong mobil ambulans yang sedang mengevakuasi warga sakit. Akibat kejadian itu, 1 orang tewas. Penembakan terjadi di Puncak Senyum, Puncak Jaya, Rabu 31 Juli 2013, sekitar pukul 14.10 WIT.  “Iya, itu kami yang tembak, mobil ambulans itu membawa tentara, bukan orang sakit,” katanya.Puron adalah bekas anak buah Goliat Tabuni. 


Mereka berpisah sejak Kabupaten Lany Jaya terbentuk. Purom Wenda memboyong anak buahnya, dan kemudian mendirikan markas di Puncak Senyum yang dinamai Kodap (Komando Daerah Operasi) Pilia.

Minta perundingan

Koordinator Umum OPM Lambert Pekikir menegaskan, masalah Papua harus diselesaikan dengan perundingan. “Antara Indonesia, Papua dan pihak ketiga, disitu baru kita akan cari akar masalah Papua itu apa, dan bagaimana cara penyelesaiannya,” tukasnya. Baginya, puluhan tahun OPM berjuang, namun apa yang diimpikan tak pernah tercapai. “Kita selalu dengar tiap saat mau merdeka, tapi kapan, itu kita tidak tahu, saya sudah ambil langkah ini, saya berani mati untuk menyelesaikan masalah Papua,” tegasnya.

Mengawali gagasan perundingan tersebut, Lambert Pekikir menghadiri sebuah seminar tentang HAM di Arso, Kabupaten Keerom, pekan lalu. Dalam acara tersebut, hadir pula Bupati Keerom Jusuf Wally, aparat TNI, Polri serta warga Arso. Seminar sehari tentang nilai-nilai Kemanusiaan dan Hak Asasi Manusia ini difasilitasi oleh Komnas HAM Wilayah Papua dan Paroki Keerom.

Dalam seminar tersebut, dihasilkan dua rumusan, yaitu, kesepahaman menjadikan Papua tanah damai tanpa kekerasan, dan OPM bersedia menemui petinggi-petinggi RI untuk berbicara tentang penuntasan konflik Papua.
Sebelumnya, Anggota Komisi I DPR RI, Yorrys Raweyai menilai, tuntutan Papua Merdeka yang selalu disuarakan, merupakan hak warga. “Tuntutan Papua Merdeka itu hak. Saya mengambil contoh seperti pembukaan Kantor OPM yang terjadi di Oxford, Inggris. Pemerintah Inggris tidak melarang pembukaan kantor tersebut,” kata Yorrys seperti dirilis tabloidjubi.com.

Terkait kemerdekaan Papua, istana tak pernah menyetujuinya. “Presiden SBY justru berketetapan melakukan pembicaraan yang intensif agar dalam masa pemerintahannya semua persoalan Papua dapat diselesaikan,” kata Daniel Sparringa, Staf Khusus Presiden Bidang Komunikasi Politik.

Read more...
Minggu, 08 Desember 2013

Amnesty Internasional: Indonesia: Investigate Ill-treatment of Protesters and Intimidation of Journalists in Papua

0 komentar
Amnesty International is concerned about allegations that police ill-treated protesters involved in a proindependence protest in Papua as well as intimidated journalists who were covering it.

On 26 November, police arrested at least 28 political activists including three women who participated in a pro-independence protest in Waena, Jayapura organized by the West Papua National Committee (Komite Nasional Papua Barat, KNPB). According to a human rights lawyer who saw them in detention at the Jayapura City police station, there were indications that they had been beaten after they were arrested. Some of the detainees had bruises or swelling on their mouth, eyes, forehead and body. At least 12 people are still in police custody.

The authorities must ensure that all those who are detained have access to lawyers of their choosing and that those who are suffering injuries have immediate access to medical treatment. The authorities must also ensure a prompt, thorough, and effective investigation into the allegations of ill-treatment by the police and ensure that those suspected of involvement, including persons with command responsibility, are prosecuted in proceedings which meet international standards of fairness. Victims should also be provided with reparations.

Amnesty International continues to receive credible reports of human rights violations committed by
the security forces in the provinces of Papua and West Papua, including torture and other ill-treatment, unnecessary and excessive use of force and firearms and possible unlawful killings. Investigations into such reports are rare and only few perpetrators have been brought to justice. The lack of accountability and the failure to criminalize acts of torture in the Criminal Code contributes to this culture of impunity.

Our organization is also concerned that the Jayapura City police personnel reportedly intimidated at
least three journalists while they were covering the KNPB protest in Jayapura. Police personnel approached them and hit one of the journalists in the head. Police also attempted to grab their cameras and told them to leave the area. One of the journalists was intimidated by the police to delete photos he had taken of the protest.

Journalists play a crucial role in exposing human rights violations and abuses, especially in Papua where authorities restrict access to international observers, including human rights organizations and journalists. Harassment, intimidation and attacks against journalists and human rights defenders can have a chilling effect, and can contribute to a climate of impunity. Amnesty International calls on the authorities to investigate all allegations of attacks, intimidation and harassment of journalists in Papua and ensure they – and others – are not obstructed from conducting their legitimate work.

Amnesty International does not take a position on the political status of Papua, or any other province of Indonesia. However, people in Papua and elsewhere in Indonesia should be able to peacefully express their views free from harassment, threats and the fear of criminalization. Our organization believes that the right to freedom of expression includes the right to peacefully advocate referendums, independence or any other political solutions that do not involve incitement to discrimination, hostility or violence.


Read more...
Kamis, 05 Desember 2013

Head of State commends Carcasses for giving voice to West Papua

0 komentar
A Vanuatu veteran die-hard supporter of West Papua cause, President of the Republic of Vanuatu, Mr Ioulu Abbil is pleased that Vanuatu leaders are giving voice to the plight of West Papuans at world meetings.

“I commend the current Vanuatu Prime Minister (Moana Carcasses) through his determination to raise the issue of West Papua in international forums. We in Vanuatu must continue to believe that justice is a God-given right to everyone. For this reason Vanuatu’s voice in the world must not be silent,” the Head of State told Parliament on Monday.

That morning a senior commander of the rebel OPM Free West Papua Movement, Uri Jowen, met with Prime Minister Carcasses at the Vanuatu Prime Minister’s office in Port Vila.

“Only this morning a senior military officer of West Papua met with me in my office,” the PM said in response to the address of the Head of State.

The PM promised parliament that he is relentless in Vanuatu’s goal to have the West Papua issue raised globally and he is willing to talk internationally about the atrocities in West Papua to the solution of self-determination of that Melanesian country.

“I will continue to raise their issue globally,” PM Carcasses told Parliament.

Recently the Prime Minister appealed to world leaders at the United Nations General Assembly in New York and the Commonwealth Heads of Meeting. (CHOGM) in Sri Lanka not to turn a blind eye to West Papua cause and to lend them their ears to the alleged sufferings by their colonizers, Indonesia.



Read more...
Rabu, 04 Desember 2013

Crackdown on West Papua activsts spreads beyond Indonesia’s borders

0 komentar
Jen Robinson
Indonesia's crackdown on West Papuan independence activists is spreading beyond it's borders into neighbouring Papua New Guinea. Local officials and activists say that Indonesia is applying pressure to PNG's government to quash activism on the issue.

Human rights lawyer Jen Robinson is better known for her role in defending Julian Assange, but for many years she's also provided support and representation for West Papuan activists. She joined The Wire on the line from Port Moresby.


Independence activists in Indonesia’s West Papua province have been the subject of violent attacks in the past few days, with one man reported dead, and others reported missing.
The crackdown has even extended into the neighbouring country of Papua New Guinea, where West Papuan activists have been arrested and questioned by PNG police, in the nation’s capital, Port Moresby.
Featured in story

Jen Robinson - Media and Human Rights Lawyer, and Director of Legal Advocacy, Bertha UK
Read more...
Senin, 02 Desember 2013

Powes Parkop: Sudah 50 Tahun Kita Diam, Namun Esok Harus Berubah

0 komentar
PNGNews,- Gubernur Port Moresby, Papua Nugini, Powes Parkop mengibarkan bendera Bintang  Kejora, bendera yang merupakan lambang gerakan Papua Merdeka, di tengah peringatan Perdana Menteri Peter O'Neill untuk tidak melakukan hal tersebut.

Seperti yang dikutip ABCNews, Ratusan pengungsi Papua kini berada di Port Moresby, dan melakukan pawai 1 Desember menuntut kemerdekaan dari Indonesia.

Sebelumnya, pihak Kepolisian Port Moresby memperingatkan pengungsi Papua untuk tidak melakukan aksinya, namun peringatan itu tidak diindahkan.

Pawai berlangsung di jalan-jalan kota itu, dan berakhir di Balai Kota Port Moresby, Minggu (1/12).

Di tempat itulah, Gubernur Powes Parkop melakukan pengibaran bendera Bintang Kejora.
"Rakyat sekalian, sudah 50 tahun terakhir kita diam, buta, tidak mau melihat, tidak mau mendengar, tidak mauj bicara. Namun esok hal itu harus berubah," katanya di depan massa.

PM Peter O'Neill sudah memperingatkan agar Gubernur Powes Parkop tidak mengibarkan bendera Bintang Kejora.

Tampak hadir di pawai 1 Desember itu adalah aktivis Papua Merdeka Benny Wenda dan seorang aktivis dari Australia Jennifer Robinson.

Pihak Imigrasi Papua Nugini telah mengancam warga asing di negara itu yang terlibat dalam kegiatan politik.

Read more...

Labels

 
HOLANDIA NEWS © 2011 DheTemplate.com & Main Blogger. Supported by Makeityourring Diamond Engagement Rings

You can add link or short description here