Lima puluh tahun Papua bergabung dengan Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI). Lima puluh tahun pula rakyat Papua terus menderita.
Berbagai kebijakan pusat tidak sampai ke daerah, hanya dinikmati segelintir elite Jakarta dan Papua. Permintaan dialog pun tidak pernah ditanggapi pemerintah pusat.
“Kami tidak mengerti, kenapa pemerintah pusat takut melakukan dialog dengan rakyat Papua? Ada apa?” kata Wakil Ketua DPRD Papua, Jimmy Demianus Ijie dalam diskusi di Press Room DPR RI, Jakarta, beberapa waktu lalu.
Jimmy Demianus Ijie mengatakan, masalah Papua harus diselesaikan dengan dialog. Tapi, yang menjadi pertanyaan selama ini kenapa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) belum pernah mau berdialog dengan rakyat Papua?
Padahal, melalui dialog itulah segala masalah bisa diselesaikan dengan baik. Dengan dialog, Presiden SBY juga bisa langsung mengonfirmasi ke warga Papua, apakah pembangunan yang direncanakan melalui otonomi khusus (Otsus) dengan anggaran puluhan triliun rupiah selama ini, sudah berjalan sesuai program pemerintah
"Jadi, Pak SBY tidak perlu khawatir mereka akan meminta merdeka, dan itu tak akan pernah terjadi. Kami setia pada NKRI,” tegas Jimmy.
Kini, 50 tahun Papua masuk NKRI. Rakyat Papua pun minta pelurusan sejarah. Itu terpaksa dilakukan karena pusat tidak pernah mau berdialog dengan rakyat Papua.
Pelurusan sejarah Papua atau menurut bahasa UU No 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khsusus (Otsus) Papua Pasal 46 Ayat 2 adalah Klarifikasi Sejarah Papua, harus menjadi salah satu agenda penting yang akan disepakati dalam penyelenggaraan Dialog Papua-Indonesia nantinya.
“Berkenaan dengan akan diselenggarakannya peringatan 50 tahun integrasi Papua ke NKRI pada 1 Mei 2013 mendatang, maka rakyat Papua akan mendesak Pemerintah Indonesia untuk duduk bersama secara damai dan bersahabat, saling terbuka dalam membicarakan soal pelurusan Sejarah Papua itu sendiri,” kata Yan Christian Warinussy, peraih pengharagaan internasional di bidang HAM "John Humphrey Freedom Award" tahun 2005 di Canada kepada SP, Senin (29/4) pagi.
Menurut Yan, mungkin sangat baik jika segera mulai dipikirkan tentang pentingnya membentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) sebagai langkah awal menurut amanat UU Otsus Papua untuk mewujudkan langkah Pelurusan Sejarah Papua itu sendiri.
“Dengan demikian, jika ada yang menyatakan bahwa tidak perlu melakukan pembicaraan tentang pelurusan sejarah Papua dalam konteks membangun kedamaian di Tanah Papua, maka sikap dan tindakan tersebut adalah inkonstitusional dan dapat dituntut secara hukum berdasarkan ketentuan Pasal 46 Ayat (2) Undang Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Propinsi Papua, sebagaimana diubah dalam Undang Undang Nomor 35 Tahun 2008,” kata ujarnya.
Tiga Jalur Solusi
Yan lebih jauh mengatakan, penyelesaian masalah Papua dapat ditempuh melalui tiga jalur yaitu politik melalui upaya diplomasi internasonal, jalur rekonsiliasi melalui dialog atau perundingan damai, dan jalur hukum.
Jalur politik, kata dia, telah dilakukan sejak penyelenggaraan Kongres Papua II pada 21 Mei - 4 Juni 2000 ,dengan ditetapkannya agenda politik yang didahului dengan pembentukan Presidium Dewan Papua [PDP], sebagai penyelenggara mandat perjuangan politik rakyat Papua.
Selanjutnya jalur rekonsiliasi telah pula ditetapkan dengan menetapkan dialog damai dengan pemerintah Indonesia sebagai pilihan pertama dalam menjalani langkah penyelesaian persoalan Papua.
“Sedangkan jalur hukum dapat ditempuh dengan menggunakan hak-hak konstitusional Orang Asli Papua sebagai warga negara Indonesia (WNI) dengan mempersoalkan setiap aturan perundangan setingkat undang undang yang nyata-nyata bertentangan dengan Konsitusi Negara Republik Indonesia (UUD 1945) dan mengakibatkan Orang Asli Papua menjadi dirugikan secara hukum,”kata Yan.
Ketiga jalur tersebut sudah dan sedang berjalan saat ini, dimana upaya-upaya tersebut seharusnya dilihat sebagai langkah demokratis yang berdasar hukum, dan memenuhi prinsip dan standar hak asasi manusia yang berlaku secara universal. Sehingga dapat dijadikan sebagai instrumen di dalam penyelesaian masalah Papua dewasa ini.
Sementara itu, tokoh masyarakat Jayapura George Awi, mengatakan, harusnya semua dapat duduk bersama berbicara untuk membangun Tanah Papua kedepan.
"Momentum 50 tahun harusnya semua introspeksi kedepan, jangan saling menyalahkan," ujarnya.[154]
Berbagai kebijakan pusat tidak sampai ke daerah, hanya dinikmati segelintir elite Jakarta dan Papua. Permintaan dialog pun tidak pernah ditanggapi pemerintah pusat.
“Kami tidak mengerti, kenapa pemerintah pusat takut melakukan dialog dengan rakyat Papua? Ada apa?” kata Wakil Ketua DPRD Papua, Jimmy Demianus Ijie dalam diskusi di Press Room DPR RI, Jakarta, beberapa waktu lalu.
Jimmy Demianus Ijie mengatakan, masalah Papua harus diselesaikan dengan dialog. Tapi, yang menjadi pertanyaan selama ini kenapa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) belum pernah mau berdialog dengan rakyat Papua?
Padahal, melalui dialog itulah segala masalah bisa diselesaikan dengan baik. Dengan dialog, Presiden SBY juga bisa langsung mengonfirmasi ke warga Papua, apakah pembangunan yang direncanakan melalui otonomi khusus (Otsus) dengan anggaran puluhan triliun rupiah selama ini, sudah berjalan sesuai program pemerintah
"Jadi, Pak SBY tidak perlu khawatir mereka akan meminta merdeka, dan itu tak akan pernah terjadi. Kami setia pada NKRI,” tegas Jimmy.
Kini, 50 tahun Papua masuk NKRI. Rakyat Papua pun minta pelurusan sejarah. Itu terpaksa dilakukan karena pusat tidak pernah mau berdialog dengan rakyat Papua.
Pelurusan sejarah Papua atau menurut bahasa UU No 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khsusus (Otsus) Papua Pasal 46 Ayat 2 adalah Klarifikasi Sejarah Papua, harus menjadi salah satu agenda penting yang akan disepakati dalam penyelenggaraan Dialog Papua-Indonesia nantinya.
“Berkenaan dengan akan diselenggarakannya peringatan 50 tahun integrasi Papua ke NKRI pada 1 Mei 2013 mendatang, maka rakyat Papua akan mendesak Pemerintah Indonesia untuk duduk bersama secara damai dan bersahabat, saling terbuka dalam membicarakan soal pelurusan Sejarah Papua itu sendiri,” kata Yan Christian Warinussy, peraih pengharagaan internasional di bidang HAM "John Humphrey Freedom Award" tahun 2005 di Canada kepada SP, Senin (29/4) pagi.
Menurut Yan, mungkin sangat baik jika segera mulai dipikirkan tentang pentingnya membentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) sebagai langkah awal menurut amanat UU Otsus Papua untuk mewujudkan langkah Pelurusan Sejarah Papua itu sendiri.
“Dengan demikian, jika ada yang menyatakan bahwa tidak perlu melakukan pembicaraan tentang pelurusan sejarah Papua dalam konteks membangun kedamaian di Tanah Papua, maka sikap dan tindakan tersebut adalah inkonstitusional dan dapat dituntut secara hukum berdasarkan ketentuan Pasal 46 Ayat (2) Undang Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Propinsi Papua, sebagaimana diubah dalam Undang Undang Nomor 35 Tahun 2008,” kata ujarnya.
Tiga Jalur Solusi
Yan lebih jauh mengatakan, penyelesaian masalah Papua dapat ditempuh melalui tiga jalur yaitu politik melalui upaya diplomasi internasonal, jalur rekonsiliasi melalui dialog atau perundingan damai, dan jalur hukum.
Jalur politik, kata dia, telah dilakukan sejak penyelenggaraan Kongres Papua II pada 21 Mei - 4 Juni 2000 ,dengan ditetapkannya agenda politik yang didahului dengan pembentukan Presidium Dewan Papua [PDP], sebagai penyelenggara mandat perjuangan politik rakyat Papua.
Selanjutnya jalur rekonsiliasi telah pula ditetapkan dengan menetapkan dialog damai dengan pemerintah Indonesia sebagai pilihan pertama dalam menjalani langkah penyelesaian persoalan Papua.
“Sedangkan jalur hukum dapat ditempuh dengan menggunakan hak-hak konstitusional Orang Asli Papua sebagai warga negara Indonesia (WNI) dengan mempersoalkan setiap aturan perundangan setingkat undang undang yang nyata-nyata bertentangan dengan Konsitusi Negara Republik Indonesia (UUD 1945) dan mengakibatkan Orang Asli Papua menjadi dirugikan secara hukum,”kata Yan.
Ketiga jalur tersebut sudah dan sedang berjalan saat ini, dimana upaya-upaya tersebut seharusnya dilihat sebagai langkah demokratis yang berdasar hukum, dan memenuhi prinsip dan standar hak asasi manusia yang berlaku secara universal. Sehingga dapat dijadikan sebagai instrumen di dalam penyelesaian masalah Papua dewasa ini.
Sementara itu, tokoh masyarakat Jayapura George Awi, mengatakan, harusnya semua dapat duduk bersama berbicara untuk membangun Tanah Papua kedepan.
"Momentum 50 tahun harusnya semua introspeksi kedepan, jangan saling menyalahkan," ujarnya.[154]
Sumber: http://www.suarapembaruan.com