BANDUNG, KOMPAS.com — Teriakan "Papua merdeka"
justru menggema dari megafon milik kelompok Aliansi Mahasiswa Papua di
tengah aksi demonstrasi ratusan buruh yang sedang memperingati Hari
Buruh Internasional di depan gerbang Gedung Sate, Kota Bandung, Rabu
(1/5/2013).
Dalam aksinya, para mahasiswa Papua itu menyuarakan
dengan keras kebebasan hak masyarakat Papua untuk menentukan nasib
sendiri sebagai salah satu solusi demokratis bagi rakyat Papua.
Dengan
kata lain, 30 mahasiswa tanah Cendrawasih itu meminta kemerdekaan
rakyat Papua. Mereka pun tak ragu memajang foto-foto korban kekerasan
di tanah Papua yang dikatakan oleh para mahasiswa itu masih terjadi
hingga saat ini. Teriakan-teriakan "Papua merdeka" tak pernah surut
hingga aksi mereka berakhir pukul 11.00 WIB.
"Kalau dikatakan Papua merupakan bagian dari NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia, red)
itu omong kosong. Inti permasalahannya adalah, kami orang Papua cuma
minta merdeka, tidak minta lain-lain," kata koordinator aksi, Frans
Kotouki, saat ditemui di sela aksi.
Terkait masih adanya tindak
kekerasan di tanah Papua, Frans mengaku hal tersebut juga merupakan
salah satu faktor yang memengaruhi keinginan rakyat Papua untuk
memerdekakan diri.
"Kami ingin mengatur sendiri semua, mulai dari
SDM hingga sumber daya alam yang ada di tanah Papua. Kami tidak mau lagi
diatur oleh NKRI," kata pemuda yang terdaftar sebagai mahasiswa STIKes
Bandung itu.
Keinginan Papua merdeka, tegas Frans, bukanlah
keinginan dari para mahasiswa Papua yang tersebar di seluruh Indonesia.
"Suara ini adalah suara dari seluruh lapisan masyarakat Papua yang sudah
muak dengan kekerasan. Mereka dibunuh dan dibantai habis oleh oknum TNI
dan Polri," ucapnya dengan nada bergetar.
Frans menambahkan, aksi
ini sengaja dilakukan bertepatan dengan Hari Buruh Internasional.
Sebab, 1 Mei dikatakannya bertepatan dengan penyerahan kekuasaan Papua
Barat dari pemerintahan sementara PBB (UNTEA) kepada Indonesia.
"Kehadiran
Indonesia tidak serta merta diterima oleh rakyat Papua. Ratusan ribu
rakyat Papua tewas pasca-pemberlakuan Daerah Operasional Militer
1977-1998," bebernya.
Selain itu, mereka juga mengkritisi
pembunuhan terhadap beberapa tokoh Papua, seperti Theis Eluay, Mako
Tabuni, Huber Mabel, serta kasus Biak Berdarah, Abepura Berdarah, dan
kasus-kasus kejahatan terhadap manusia yang tidak tuntas diselesaikan
oleh Indonesia.
Dalam memperingati 50 tahun Aneksasi Papua ke
dalam NKRI, Aliansi Mahasiswa Papua menuntut kepada PBB dan Indonesia
untuk segera memberikan solusi kebebasan hak menentukan nasib sendiri,
menarik militer (TNI-Polri) organik dan nonorganik dari seluruh tanah
Papua.
"Kita juga menuntut untuk menghentikan eksploitasi dan
menutup seluruh perusahaan milik kaum imperialis, seperti Freeport,
Corindo, Medco, dan lain-lainnya," tegas Frans.
Editor :Farid Assifa Kompas