Selama 13 tahun berturut-turut, Indonesia telah masuk dalam daftar pantauan dari negara-negara terkait kebebasan beragama.
Komisi Amerika Serikat untuk Kebebasan Beragama (the US Commission on International Religious Freedom,
USCIRF) mengatakan bahwa tradisi pluralisme di Indonesia telah terusik
dalam beberapa tahun terakhir akibat “konflik sektarian, kekerasan
sosial dan penangkapan individu yang dianggap menyimpang dari agama.”
Toleransi beragama di Aceh yang menurun, khususnya dengan penerapan
Syariat Islam, disorot secara khusus dalam laporan itu, termasuk
penutupan 29 gereja dan lima wihara (Buddha) di Kabupaten Singkil dan
Banda Aceh, selama satu tahun terakhir.
Laporan itu juga menyebutkan serangan pada November lalu terhadap
sebuah sekte yang diklaim sebagai sesat di Kabupaten Aceh Bireuen dengan
menewaskan pemimpin sekte itu, Tengku Ayub Syakuban, dan salah satu
pengikutnya. Tak satu pun dari sekitar 100 orang yang terlibat dalam
serangan itu ditangkap.
Impunitas yang dilakukan oleh orang-orang di balik serangan Bireuen
bukan sesuatu yang unik, bersama kelompok-kelompok garis keras yang
beroperasi secara bebas, melecehkan agama minoritas, menghancurkan
tempat ibadah dan menekan para pejabat lokal untuk menahan dan membatasi
mereka yang dituduh menghujat dan menyebarkan agama, kata laporan itu.
Bulan lalu, Pengadilan Negeri Surabaya, Jawa Timur membebaskan Rois
Al-Hukama, yang mendalangi serangan mematikan anti-Syiah di Sampang,
Madura, yang menewaskan dua orang tahun 2012.
Sekitar 500 warga Muslim Sunni mengamuk di sebuah desa di kecamatan
Omben, Sampang pada 26 Agustus, menewaskan seorang pengikut Syiah dan
membakar lebih dari 30 rumah. Mereka yang menolak untuk masuk Islam
Sunni, terpaksa hidup dalam kondisi memperihatinkan di sebuah pelataran
olahraga. Hampir satu tahun, warga Syiah itu masih bertahan di
pengungsian.
Meskipun Presiden Susilo Bambang Yudhoyono secara terbuka mendukung
toleransi beragama, namun anggota kabinetnya “kadang-kadang mengirim
pesan lain terkait kebebasan beragama,” kata laporan itu.
USCIRF mencatat bahwa Menteri Agama Suryadharma Ali telah secara
terbuka mendukung larangan bagi kelompok Ahmadiyah di provinsi itu dan
menyarankan bahwa toleransi beragama hanya bisa dicapai bila para
anggota Ahmadiyah dan Syiah masuk agama Islam mainstream (Islam Sunni).
USCIRF merekomendasikan bahwa pemerintah Amerika Serikat membuat
program-program untuk meningkatkan kapasitas para pembela HAM di
Indonesia, anggota Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) provinsi, serta
hakim dan aparat penegak hukum, sehingga mereka bisa memediasi dan
menyelesaikan konflik sektarian dan agama.
Ia juga mendesak pemerintah Indonesia untuk mencabut Surat Keputusan
Bersama Menteri 2008 tentang larangan Ahmadiyah melakukan dakwah,
Peraturan Bersama Dua Menteri tahun 2006 tentang pembangunan rumah
ibadah, dan KUHP Pasal 156 tentang pelarangan penghujatan agama.
Setara Institute melaporkan 264 kasus kekerasan terhadap agama-agama minoritas tahun lalu.
Phelim Kine, wakil direktur Human Rights Watch Asia, mengatakan
peningkatan intoleransi di Indonesia menjadi sebuah “bentuk osmosis
beracun.”
“Intoleransi dapat dan akan menyebar serta menjadi masalah yang jauh lebih serius,” katanya dalam sebuah laporan terbaru.
Editor: Uca News
Anda Bisa Ikuti : Fllower In Twiter Or West Papua Twitter