Thaha: Grasi Tapol/Napol Papua Merdeka tak Pernah Diinisiasi dengan Bena
Sekjen PDP Thaha Alhamid |
Jayapura HoldNews.- Kebijakan Otsus Plus yang diusung Gubernur dan Wagub Papua Lukas Enembe
dan Klemen Tinal (LUKMEN), diantaranya, pemberian grasi atau
pengampunan dari Presiden SBY kepada sekitar 40-50 Tapol-Napol
Papua merdeka yang masih menjalani hukum di sejumlah Lembaga
Pemasyarakatan di Tanah Air menuai kritik pedas dari Sekjen Dewan
Presidium Papua/PDP Thaha Alhamid ketika dikonfirmasi Bintang Papua
via Email Rabu (29/5) malam.
Dikatakan Thaha Alhamid, Otsus yang berlaku di Tanah Papua sejak 2001, adalah desentralisasi asimetris berdasarkan UU Nomor 21 Tahun 2001. Sesuai amanah UU itu sendiri, setiap perubahannya mesti dilakukan atas usul rakyat Papua melalui MRP dan DPRP.
“Nah, kalau sekarang ada lebel Otsus Plus, pertanyaan kita kebijakan ini dasar hukumnya, apa? Undang-Undang atau sekedar mengikuti selera politik saja. Negara ini, tidak diboleh dikelola berdasarkan selera orang per orang atau kelompok politik tertentu, tapi harus berdasarkan hukum,” tegas Thaha Alhamid.
Pertama, menurut Thaha Alhamid, Pemerintah harus menjelaskan kepada
masyarakat, apa dasar hukum munculnya Otsus Plus itu. Kapan usul
perubahan dilakukan, rakyat Papua terlibat atau tidak? serta apa saja
yang menjadi substansi dari Otsus Plus itu ?
“Kalau pijat plus-plus, saya kira banyak orang tahu, apa suguhan substansinya, lalu bagaimana dengan Otsus Plus ini. Jujur, Kita dengar kata Otsus Plus ini baru sebatas dari media dan retorika politik saja. substansinya kita masih buta,” tukasnya.
Memang, adalah fakta bahwa tahun 2008, tambah Thaha Alhamid, sesungguhnya Pemerintah sudah merubah UU Otsus ini dengan keluarnya Perpu No 1 Tahun 2008. Lalu muncul Inpres Nomor 5 Tahun 2007 tentang percepatan pembangunan Papua yang terkapar sebelum berjalan, muncul kemudian Unit Percepatan Pembangunan Papua dan Papua Barat (UP4B) sebagai intervensi kebijakan percepatan, karena pemerintah sadar betapa Otsus belum efektif menjawab masalah Papua.
“Nah kalau sekarang tiba-tiba ada Otsus Plus, jelas ini langkah politik yang bikin rakyat bingung dan bertanya tanya. Tugas Pemerintah adalah menjelaskan arah serta substansi dari kebijakan plus ini,” ujar dia.
Kedua, Tapol/Napol Filep Karma Cs menolak grasi yang ditawarkan. Pihaknya merasa penolakan ini sangat masuk akal, terutama karena tidak pernah diinisiasi dengan benar. Tahun 1999, Pemerintah Pusat waktu itu mengeluarkan pembebasan seluruh Tapol-Napol Papua. Itu berdasarkan tuntutan rakyat Papua, bukan sesuatu yang tiba-tiba jatuh dari langit tanpa komunikasi politik yang bermartabat.
“Bagi kawan-kawan, grasi itu adalah pengampunan. Artinya, sesorang mengaku bersalah, diadili dan dihukum lalu karena belas kasihan Presiden SBY mereka lalu diberi grasi atau pengampunan,” tutut Thaha Alhamid.
“Ini memang hak prerogatif Presiden, tapi kan ada mekanismenya. Saya rasa ini, salah satu ganjalan psiko-politiknya. Para ahli hukum dan pengacara di Papua, saya rasa lebih kompeten mengelola soal ini. Kita harus membiasakan diri, menyerahkan suatu pekerjaan kepada ahlinya. Sebab kita ini bukan kunci Inggris yang bisa buka semua mur dan baut.”
Ketiga, Pemerintah harus lebih membuka diri, kalau mau memberi nilai plus kepada Otsus Papua, Kenapa tidak buka pintu dialog saja? “Toh selama ini, dialog sudah menjadi point tuntutan rakyat. Jalan ini malah berpotensi menjawab berbagai soal dan jauh lebih elegan,” ujarnya
Sumber: Bintang Papua