Ketua Sinode KINGMI di Tanah Papua Dr. Benny Giay dan Direktur Yayasan Baptis Papua Mathius Murib ketika menyampaikan himbauan ini terkait situasi kondisi HAM dan Demokratisasi di Tanah Papua menjelang HUT OPM 1 Juli di Jayapura, Selasa (25/6).
Beny Giay mengatakan, naiknya Bintang Kejora lebih disebabkan orang Papua tak diberi ruang untuk menyampaikan aspirasi Papua merdeka, tapi justru selalu disoroti dari sudut pandangan makar, separatis atau hendak mengganti ideologi NKRI.
“Orang Papua selalu dianggap sebagai hama yang harus dibasmi dan hama yang di dalam NKRI yang harus dibasmi. Saya rasa ada sesuatu yang salah didalam negara ini, termasuk petinggi-petinggi negara dalam hal ini aparat keamanan,” tukas Beny Giay.
Menurutnya, Bintang Kejora adalah sebuah ideologi rakyat Papua Barat, yang telah tumbuh turun-temurun sejak puluhan tahun silam untuk merdeka atau mendirikan negara berdaulat terlepas dari NKRI.
“Sebuah ideologi Papua merdeka tak mungkin dibunuh oleh seorang Kapolda Tito Karnavian, karena ideologi terus ada di sepanjang generasi orang Papua,” ujar Beny Giay.
Pertama, tak ada ruang bagi rakyat bangsa Papua Barat untuk menyampaikan aspirasi apapun bentuknya. Tapi aparat TNI/Polri justru menggiringnya melalui tindakan represif dan kekerasan.
Kedua, ada oknum-oknum yang dimanfaatkan untuk memprovokasi dan menciptakan konflik didalam masyarakat, dimana ada pihak ketiga seringkali menaikan Bintang Kejora. Mereka juga harus diperiksa dan ditindak.
Dijelaskan, apabila berbicara sejarah orang Papua, maka seorang Kapolda tak mungkin bisa menghapus sejarah itu, karena telah masuk kedalam benak-benak satu juta lebih orang Papua. Demikian pula perayaan 1 Desember, 1 Mei dan lain-lain.
Senada dengan itu, Mathius Murib mengatakan aparat TNI/Polri ketika melakukan penindakan harus menggunakan aturan hukum, karena pertimbangannya keamanan dan ketertiban (Kamtimas) dan keutuhan negara. Ironisnya, aturan hukum kemudian dibenturkan dengan ideologi. Padahal ideologi ini tak ada hubungannya dengan keutuhan NKRI. Tapi Ideologi orang Papua untuk meraih kemerdekaan terus-menerus hidup sepanjang abad.
“Harus ada ruang yang dibuka sehingga ideologi tetap ada, hukum dan segala macam penegakan yang hendak dilakukan oleh negara melalui aparat penegak hukum juga jalan,” katanya.
Mathius Murib menadaskan, ideologi seperti momen-momen 1 Juli, 1 Mei dan 1 Desember dan lain-lain juga harus diberi ruang, karena ini konsekuensi logis dari resiko hukum di konstitusi negara Indonesia, dimana aturan hukum, mulai UUD 1945, Pancasila, UU HAM, UU Kepolisian, UU Demokrasi, yang memberi ruang kepada warga negara untuk menyampaikan aspirasinya, termasuk pandangan politik.
Karenanya, tandas mantan Wakil Ketua Komnas HAM Perwakilan Papua ini, Kapolda harus lebih profesional, arif dan , bijaksana melihat masalah ini. Tak bisa dengan sepihak dan dengan cara kekerasan dimana orang baru berkumpul lalu aparat keamanan langsung membubarkan. Apabila ini terjadi, maka dia tak langsung berhenti mereka malah mengatur kekuatan lain untuk tetap memperjuangkan ideologi Papua merdeka.
“Pendekatan represif harus dievaluasi dan ditinjau kembali atas nama hukum keamanan dengan ideologi hukum yang ada di Papua,” tandasnya.
Mathius Murib mengatakan, pihaknya yang fokus untuk masalah HAM bahwa nilai manusia lebih penting dari pada kemanan, keutuhan NKRI dan hukum atau apapun nama lainnya. Kebebasan manusia, hak hidup manusia itu nilainya lebih penting dari kepentingan NKRI dan kepentingan negara manapun.
“Negara didirikan untuk melindungi manusia, termasuk manusia di Tanah Papua ini. Tapi kalau kemudian nilai manusianya direndahkan dan kepentingan keamanan hukum ditonjolkan, ya ini tak sejalan dengan semangat awal mendirikan sebuah negara,” tegas Mathius Murib.
Sumber: http://bintangpapua.com/