PEMBUKAAN kantor Organisasi Papua
Merdeka (OPM) di Oxford, Inggris mengagetkan pemerintah Indonesia.
Kantor itu didirikan oleh aktivis Papua, Benny Wenda.
Indonesia tampak seperti kebakaran jenggot ketika
mengetahui adanya kantor OPM itu. Berbagai jalan langsung dilancar
Indonesia untuk melakukan aksi protes dan mempertanyakan pemerintah
Inggris atas pendirian kantor itu.
Meski Pemerintah Inggris mengklaim tidak mendukung secara langsung OPM versi Benny Wenda, namun Pemerintah Indonesia tetap memantau gerakan pria yang sempat menjadi buronan Polri tahun 2002 itu.
Lalu bagaimana pengaruh Benny Wenda dan gerakannya di luar negeri untuk Indonesia? Apa yang melatarbelakangi sehingga Benny Wenda bergerak dari luar?
Untuk lebih jelas mengenai masalah pergerakan Benny dan Papua Merdeka, berikut wawancara wartawan JPNN, Natalia Laurens dengan anggota Tim Kajian Peneliti Papua di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Adriana Elisabeth di kantornya, Jakarta, Jumat (17/5).
Pergerakan Benny Wenda dan kantornya di Inggris apakah sudah menjadi ancaman unttuk Indonesia?
Kalau melihat reaksi pemerintah Indonesia dengan pembukaan kantor OPM di Oxford seolah-olah isunya ini menakutkan dan mengkhawatirkan yang bisa mengarah pada disintegrasi di Indonesia. Tapi menurut saya memang itu tujuan Benny melakukan itu. Jadi kampanye-kampanye Papua Merdeka itu bagian untuk memancing pemerintah Indonesia. Hanya saya sudah sampaikan pada pemerintah, bahwa protes pemerintah sudah baik. Tapi kalau menyuruh kantor itu ditutup, itu menurut saya berlebihan, karena kita tidak memiliki kewenangan, karena itu otoritas pemerintah Inggris. Jadi dalam hal ini reaksi pemerintah berlebihan, tapi protesnya sudah baik. Seruan Benny itu sudah dilakukan sejak lama. Sudah banyak orang yang berjuang menentang pemerintah dari luar. Tapi itu tergantung bagaimana kita menyikapinya.
Pergerakan Benny Wenda ini sudah berapa lama dilakukan melalui jalur luar negeri?
Kalau Benny sendiri, kita tahu sudah lama ia bergerak dan menuntut Papua Merdeka. Berikut aksinya membuka kantor OPM itu kan berdekatan dengan peristiwa 1 Mei, 50 tahun integrasi Papua. Dengan adanya pembukaan kantor itu, berarti kita perlu tahu bahwa ada soal yang belum bs diselesaikan. Makanya gerakan seperti ini masih muncul terus. Masih ada soal, bagaimana pemerintah Indonesia menangani isu Papua. Pesannya sebenarnya itu. Itu mau diselesaikan seperti apa. Kalau dari Pemerintah, memerdekakan Papua itu tidak akan mungkin. Itu sudah final integrasi Papua ke Indonesia. Tapi harus ada cara lain bagaimana isu itu diselesaikan.
Soal apa yang belum diselesaikan Pemerintah Indonesia di Papua?
Kita bilang Papua sudah menjadi bagian dari Indonesia. Tapi bagaimana pemerintah selama ini menyikapi Papua? Itu soal di dalam proses perjalanan bangsa ini. Kalau dari perspektif Benny Wenda dan teman-teman yang mau merdeka, jelas mereka mau merdeka. Tapi itu kan tidak bisa dan tidak mungkin dilakukan.
Sebagian lainnya warga Papua yang juga berteriak ingin merdeka, mereka belum tentu mau merdeka secara politik. Mereka juga ingin merdeka dari ketakutan, intimidasi, dari kebodohan dan kemiskinan. Itulah yang selalu coba dijawab pemerintah tapi belum selesai juga.
Kenapa Pemerintah seperti tidak mampu selesaikan soal-soal ini meski banyak program untuk Papua?
Ini karena ada pendekatan yang kurang tepat. Kalau menurut saya, isu Papua itu isu politik. Pemerintah tahu itu. Tapi selalu didekati dengan membangun Papua secara fisik, dan ekonomi. Lalu soal politiknya mau diapakan. Memahaminya harus komprehensif dan simulltan. Tidak bisa soal politik diselesaikan secara ekonomi.
Pemerintah selalu berpikir Papua itu masalahnya kesejahteraan. Well, memang iya. Tetapi masalah ketidaknyamanan dan ketidakbahagiaan yang mereka rasakan karena menjadi bagian Indonesia, mau seperti apa diselesaikan.
Kita tidak bicara merdeka ya. Tapi secara politik, misalnya mereka berekspresi berbeda saja sudah dianggap separatis. Padahal menentang sesuatu yang tidak sepaham kan wajar dalam demokrasi. Ketika berdemo, selalu ada saja kasus pendemonya ditembak. Mereka selalu distigma separatis. Padahal di mana-mana pemerintah mendapat pertentangan itu biasa. Tapi setiap kali Papua yang bicara dan menuntut, itu dianggap separatis. Itu kan masalahnya. Bagaimana bisa soal seperti itu mau kita selesaikan dengan pendekatan ekonomi? Inilah yang membuat Benny Wenda dan pergerakannya membuat kantor dan bergerak di luar. Karena mereka merasa masih ada masalah di Papua. Pekerjaan rumah itu sebenarnya ada di sini di Indonesia bukan di Inggris, Australia, atau Amerika. Kalau pemerintah bilang inilah domestic issue ya, selasaikan. Supaya Benny Wenda dan organisasinya tidak bisa teriak-teriak dari luar negeri.
Anda melihat, apakah dukungan untuk Benny Wenda dari internasional cukup besar?
Kalau dari kasus pembukaan kantor itu kan didukung Wali Kota di sana (Oxford, red). Dari perspektif saya itu, eksistensinya baik karena walikota saja mau membukanya. Itu menurut saya poinnya besar. Dari aspek kebebasan politik di Inggris, itu hal yang biasa. Jadi ini tergantung bagaimana kita melihat. Kita menjadi berlebihan menanggapinya karena beda perspektir kan. Menurut saya dengan dibuka kantornya, berarti eksistensinya tinggi karena pemikiran di sana itu kebebasan berpolitik. Tapi apapun itu, kalau sampai ada pembukaan kantor di sana, maka di situ ada soal dan pekerjaan rumah negara kita.
Dari penelitian Anda gerakan-gerakan seperti Benny Wenda ini apakah mendapat dukungan dari warga Papua?
Saya harus mengatakan bahwa Papua itu tidak homogen. Walaupun jumlah warga Papua asli tidak sampai 2 juta orang, tapi mereka tidak homogen. Itu salah satu yang saya pahami soal Papua, termasuk oleh Benny Wenda.
Kalau dia tidak didukung oleh semua, ya itu pasti. Karena ada OPM yang lain juga. Mereka berbeda. Agenda politik dan strategi mereka juga beda. Itu sebuah tanda, bahwa mereka itu memang tidak bersatu sebetulnya. Kalau mereka bersatu, untuk apa buat OPM di tempat lain. Jadi semakin banyak kelompok itu semakin menunjukkan ketidaksepakatan mereka dengan pemerintah Indonesia. Tapi juga menunjukkan mereka sendiri tidak solid. Termasuk yang di Indonesia tapi tidak berada di Papua.
Bagaimana mau membayangkan sebuah gerakan besar kalau mereka sendiri tidak bersatu. Itu yang dibaca oleh pemerintah. Kalau mau mengikuti saran LIPI untuk dialog, mereka saja terbagi-bagi seperti itu. Saya tidak tahu mereka di luar negeri kekuatannya seperti apa. Tapi kelemahan mereka adalah mereka kan tidak berada di Papua, jadi tidak tahu apa yang terjadi di Papua. Untuk tujuan politik Benny Wenda saya enggak yakin jika Papua Merdeka dia bisa sejahterakan Papua.
Teman-teman di Papua sendiri melihat rekan-rekannya yang bergerak di luar Papua melakukan gerakan itu merasakan perjuangan itu bukan untuk membela orang Papua. Menurut mereka jika teman-teman Papua di luar sana mau membantu membangun daerah itu, mereka harus pulang. Itu mungkin sempit tapi artinya mereka tidak percaya bahwa orang-orang itu mau berjuang untuk masyarakat Papua.
Pendekatan pemerintah sendiri pada Papua ambigu dan tidak integratif ya tidak simultan, makanya gerakan seperti ini terus ada.
Apa ini berarti karena pemerintah terlalu sering melakukan pembiaran pada masalah Papua?
Jangan pakai kata pembiaran. Tapi pendekatannya yang kurang tepat. Contoh untuk masalah pendidikan dan kesehatan. Dari undang-undang dan anggarannya untuk Papua sudah ada. Tapi kan ada yang harus mengimplementasikan. Yang melakukan siapa? Apakah mereka melaksanakannya dengan baik? Uang dipakai betul atau tidak? Itu kan bukan masalah pembiaran, tapi SDM-nya yang tidak melakukannya, otoritas juga tidak bekerja, campur aduk antara politik dan pembangunan. Itulah masalahnya. Bukan pembiaran. Di Papua susaha clear, kalau ngomong pembangunan dipolitisasi, ngomong politik, susah pembangunan. Jadi kacau.
Papua ini perlu pendekatan simultan tapi juga mengggunakan bahasa yang konstruktif, tidak provokatif dan stigmatisasi. Misalnya kalau pemerintah ada kelemahan dalam implementasi, sebutkan itu. Tapi jangan dengan kata pembiaran. Itu membuat warga Papua merasa terbuang. Misalnya orang Papua tidak setuju dengan kebijakan pemerintah, jangan disebut separatis. Bilang saja mereka tidak setuju. Kalau terus distigma seperti itu mereka tidak bisa melakukan apa-apa.
Papua itu cantik, untuk pengembangan pariwisata itu bagus. Tapi, orang takut ke Papua, karena selalu dibilang ada separatis di sana. Itu stigmatisasi yang membuat Papua tidak bisa berkembang. Menurut saya Jakarta dan Papua perlu menggunakan bahasa konstruktif, jangan stigmatisasi.
Saya bukan membela, tapi ketika mereka hidup terus dalam suasana konflik secara psikologis mereka selalu hidup dalam ketakutan. Mereka merasa kebijakan tidak sama dengan apa yang mereka alami. Makanya mereka protes. Tapi jangan rendahkan mereka. Kalau tidak, orang Papua akan berpikir, kenapa kami bagian dari orang Indonesia tapi kami dibedakan dan didiskriminasi.
OPM bentukan Benny Wenda ini apakah bisa berindikasi hanya jadi alat politik semata mengingat banyak negara yang melirik wilayah tambang di Papua?
Kalau secara formal, saya tidak mendengar ada pemerintah negara asing mendukung Papua merdeka. Itu harus dicatat. Itu juga poin penting untuk pemerintah Indonesia. Papua itu sah di Indonesia. Sebenarnya di Inggris, itu adalah bagian dari kebebasan politik. Kita dari segi itu, saya tidak menyangkal pasti ada kelompok-kelompok di Inggris untuk OPM. Pasti ada.
Dulu di Timor-timur juga sama. Tapi kembali menurut saya seberapapun kuat dukungan itu. Selama pemerintah Inggris menyatakan support pada Indonesia, itu harus menjadi modal kita untuk berani menyatakan bahwa Papua adalah milik kita. Tapi pekerjaan rumah Indonesia harus diselesaikan. Dukungan formal negara-negara itu sebenarnya tidak titik.
Bagaimana dengan Diplomasi Indonesia kepada Inggris, apakah bisa mematahkan gerakan Benny Wenda ini?
Diplomasinya belum komprehensif. Masih defensif. Kalau kita sudah kerjakan PR kita dengan baik di Papua, kita enggak perlu defensif. Orang kan melihat hasil kerja kita apa. Kalau orang Papua mengatakan kami mau merdeka, internasional pasti mereka kenapa mau merdeka. Ya itu karena mereka merasa masih banyak masalah.
Kalau kita tidak menyelesaikan ini, diplomasi kita tidak akan meningkat juga. Kita bisa buktikan apa di Papua. Diplomasi itu kan perjuangan untuk perbaiki situasi, tapi ya selesaikan dulu masalah-masalah di Papua. Diplomasi kan ada dua di luar negeri dan diplomasi publik dalam negeri. Itu ada korelasinya. Indonesia belum mampu membuat kualitas yang sama di diplomasi internasional dan dalam negeri. Kalau kita selesaikan di sini, kita bisa sampaikan pada internasional, masalah kita sudah selesai. Kalau Papua enggak selesai, mereka pasti mengganggu. Diplomasinya belum optimal dan reaktif. Kalau mau selesaikan, ya selesaikan, diplomasi kita akan lebih ringan jalannya.
Apakah gerakan Benny ini bisa berindikasi seperti Xanana Gusmao di Timor-timur? Mengingat Xanana dulunya juga pesakitan
Saya belum melihat ke arah itu. Kalau Xanana dulu kan tidak sendiri. Ada Ramos Horta, Uskup Bello. Di Papua rasanya belum sampai ke sana. Itu dugaan saya. Bahwa gereja-gereja di luar memonitor ini, iya. Kalau melanggar kemanusiaan, gereja di mana pun akan bersuara sama. Tapi untuk kasus Papua saya belum melihat akan bisa sampai seperti gerakan Xanana.
Pesan anda untuk pemerintah untuk menghadapi ini bagaimana?
Pemerintah sudah lakukan banyak hal sampai terakhir Unit Percepatan Pembangunan Pronvinsi Papua dan Provinsi Papua Barat (UP4B) untuk perbaikan Papua. Semua dilakukan, infrastruktur, ekonomi, pembangunan. Persoalannya, politiknya tidak diselesaikan. Papua kan isu politik. Yang tidak selesai di Indonesia, malah ribut di luar negeri. Ini karena warga Papua tidak pernah diberikan ruang untuk seleesaikan masalah politik. Sementara ekonomi dibangun, daerahnya disebut separatis. Bagaimana bangun Papua dalam kondisi tidak normal.
Soal otsus juga tidak banyak masyarakat Papua tahu. Mungkin hanya elit politik. Masyarakat tahunya soal uang. Banyak yang harus dikoreksi itu. Semua sudah diberikan tapi masih ada yang salah. Perlakukan warga Papua dengan jujur. Mereka harus diberi ruang untuk mengatakan apa adanya tanpa distigma. Cintai mereka, jangan diskriminasi dan beda-bedakan mereka. Jangan rasis, sampai orang Papua pun pergi ke daerah lain di Indonesia, mereka harus membawa paspor karena dicurigai dan ditanya berasal dari mana.
Saya membawa teman Papua saya ke Aceh, saya dibolehkan masuk ke pesawat sedang teman saya ini diminta paspornya. Meski saya bilang ini orang Indonesia tapi tetap diperiksa. Teman saya bilang mereka selalu membawa paspor karena mereka selalu dibedakan. KTP saja tidak cukup. Ini rasis. Membuat mereka juga bertanya-tanya, apakah kami sudah benar-benar bagian dari Indonesia. Nation building tidak terasa. Jika mereka salah maka jangan permisif. Tapi jika benar, juga memperlakukan mereka dengan adil dan jujur.(flo/jpnn)