Oleh : Martyr Papua - Suara Papua*
Photo Ils |
Salah satu dampak dari Papua menjadi bagian dari Republik Indonesia
adalah orang-orang Papua menjadi asing bahkan termarginalkan di atas
tanahnya sendiri – atau setidak-tidaknya proses marginalisasi itu
sementara berlangsung.
Siapa pun, dengan hati nurani yang jernih dan kesediaan untuk patuh pada objektivitas, pasti akan membenarkan anggapan ini.
Tetapi bagaimana kita bisa memberikan bukti yang akurat dan tidak
terbantahkan bahwa proses itu benar-benar sementara berlangsung?
Atau, yang mungkin lebih penting, bukti apa yang bisa, bahkan yang
harus, diterima oleh semua pihak, termasuk oleh pemerintah Republik
Indonesia dan pendukung-pendukungnya di tingkat internasional, bahwa
proses orang-orang asli Papua menjadi terasing di atas tanahnya sendiri
benar-benar sementara berlangsung?
Jawabannya terdapat pada hasil Sensus Penduduk Indonesia tahun 2010
(SP-2010). Sensus Penduduk ini sepenuhnya dikendalikan dan dilaksanakan
oleh instansi pemerintah pusat yang langsung bertanggung jawab kepada
Presiden RI, yaitu Badan Pusat Statistik (BPS).
Di era reformasi sekarang ini, kita bisa memastikan bahwa BPS adalah
badan independen yang relatif sulit diintervensi oleh pemerintah maupun
pihak-pihak mana pun.
Setiap 10 tahun BPS melaksanakan Sensus Penduduk.Berbeda dengan
survei, Sensus Penduduk memiliki tingkah kesahihan data yang tinggi,
karena petugas BPS mendatangi setiap rumah tangga dan mencatat
karakteristik sosial dan ekonomi setiap orang yang ada di rumah tangga
tersebut.
Hasil SP-2010 ini digunakan juga oleh badan-badan PBB yang mengurus
masalah kependudukan.(Khusus mengenai hasil SP-2010 di Provinsi Papua,
kunjungi: <http://papua.bps.go.id/yii/9400/index.php/site/page?view=sp2010>)
Menurut SP-2010, total penduduk Provinsi Papua (tidak termasuk Papua
Barat) adalah 2.833.381 jiwa. Dari jumlah ini 76 persen penduduk adalah
Orang Asli Papua (OAP), sementara 24 persen lainnya adalah warga migran.
Kalau kita membatasi diri hanya pada angka-angka ini, maka
seolah-olah proses marginalisasi itu tidak terjadi, karena persentase
jumlah OAP masih dominan dibandingkan masyarakat migran.Benarkah?
Ternyata tidak sepenuhnya benar.SP-2010 menunjukkan bahwa di
Kabupaten Merauke, persentase OAP tinggal 37 persen.Di Nabire OAP hanya
48 persen.Di Mimika OAP hanya 41 persen.Di Keerom, sebagaimana halnya di
Mimika, OAP juga tinggal 41 persen.
Di Kota Jayapura?Lebih buruk dari keadaan di Merauke, karena jumlah
OAP-nya hanya tinggal 35 persen. Siapa yang menyusul — karena OAP-nya
hanya tinggal 60-an persen?Kabupaten Jayapura dan Boven Digoel, serta
tidak lama lagi adalah Sarmi.
Apakah itu berarti bahwa di kabupaten-kabupaten lain, khususnya di kawasan Pegunungan Tengah, posisi OAP tidak terancam?
Mari kita lihat kasus Kabupaten Jayawijaya.Total penduduk Kabupaten
Jayawijaya menurut SP-2010 adalah 196.085 orang.Sembilan puluh satu
persen di antaranya adalah OAP, sementara sisanya (9 persen) adalah
masyarakat migran dari luar Papua.
Sekali lagi, kalau kita berhenti pada angka-angka ini, seolah-olah Kabupaten Jayawijaya relatif ‘aman’ dari serbuan kaum migran.
Tapi kalau kita perhatikan situasi di Distrik Wamena, khususnya Kelurahan Wamena Kota, maka situasinya sama sekali berbeda.
Menurut hasil SP-2010, total penduduk Kelurahan Wamena Kota adalah
31.724 jiwa, di mana 53,87 persen adalah OAP dan 46,11 persen adalah
masyarakat migran. Suatu jumlah yang tidak berpaut jauh, dan dengan
gampang akan menjadi sama bahkan kaum migran bisa menjadi lebih banyak
dalam beberapa tahun ke depan.
Ada dua pelajaran penting yang bisa kita tarik dari data-data hasil
SP-2010 di Papua.Pertama, proses marginalisasi alias menjai asing di
tanah sendiri itu sungguh-sungguh sementara berlangsung, terutama di
daerah-daerah pesisir.
Pada sejumlah kabupaten yang menjadi sasaran program Transmigrasi
Nasional di waktu lalu (Merauke, Nabire, Mimika, Keerom, Jayapura) OAP
sudah menjadi minoritas.
Hal yang sama, walaupun dalam kecepatan yang relatif lebih lambat,
juga sementara berlangsung di Kawasan Pegunungan Tengah dan wilayah
Selatan Papua (minus Kabupaten Merauke), karena ternyata di pusat-pusat
kota kabupaten/pemerintahan, persentase OAP juga sudah mulai berkurang.
Bisakah kita bayangkan apa yang akan terjadi ketika UP4B berhasil
dengan programnya, dengan menggunakan kekuatan pasukan Zeni dan Tempur
(Zipur) TNI-AD untuk membangun infrastruktur jalan dan jembatan dari
pesisir Utara dan pesisir Selatan ke daerah pedalaman, tanpa diimbangi
dengan upaya-upaya dan kebijakan mengurangi atau bahkan menghentikan
sama sekali masuknya migran?
Jawabannya sangat jelas: dengan cepat kaum migran akan `menyerbu’ kawasan-kawasan yang sekarang sulit dijangkau itu.
Mungkin ada pembaca yang bertanya: bagaimana situasi di Provinsi
Papua Barat?Secara normatif keadaannya pasti tidak berbeda dengan di
Provinsi Papua, bahkan bisa jadi lebih gawat lagi.
Hanya saja tidak tersedia data-data kuantiatif untuk mendukung anggapan normatif itu, karena di website BPS Papua Barat (<http://irjabar.bps.go.id/>) hasil SP-2010 sama sekali tidak mencantumkan data-data tentang Orang Asli Papua.
Berbeda dengan BPS Provinsi Papua yang secara terbuka mencantumkan
statistik OAP untuk diketahui oleh masyarakat luas.Pernah seorang teman
dari LSM Manokwari menanyakan hal ini kepada pejabat Bappeda Papua
Barat, dan memperoleh jawaban, “kami harus hati-hati dengan data seperti
itu, karena sangat sensitif.”
Mudah-mudahan ketika Dialog Jakarta – Papua dilangsungkan,
sebagaimana yang terus diupayakan oleh teman-teman Jaringan Damai Papua,
soal marginalisasi orang asli Papua di tanahnya sendiri ini juga
menjadi salah satu agenda utama dalam pembicaraan.
Karena kalau tidak, banyak di antara OAP akan menjadi seperti
saudara-saudaranya masyarakat Marind di ibukota Merauke – mereka sudah
tidak punya tanah sama sekali!
*Penulis adalah pemerhati masalah sosial, tinggal di Jayapura, Papua