PELAKSANAAN Otonomi Khusus belasan tahun, dinilai tak
berdampak bagi Orang Asli Papua. Otsus sebaliknya menjadikan pemilik
tanah makin terpuruk.
“Otsus sudah gagal, oleh sebab itu, yang didorong saat ini adalah
dialog antara Jakarta dan Papua,” kata Ketua Pengurus Badan Persekutuan
Gereja-gereja Baptis Papua (PGGBP), Pendeta Socrates Sofyan Yoman,
kepada SULUH PAPUA di Jayapura, kemarin.
Menurut dia, persoalan Papua hanya dapat diselesaikan lewat dialog
damai, yang jujur dan setara antara Indonesia dan Papua. Dialog itu
tanpa syarat dan dimediasi oleh pihak ketiga di tempat netral. “Dalam
pertemuan di MRP beberapa waktu lalu dalam rangka mengevaluasi otsus,
sudah jelas diputuskan bahwa otonomi khusus gagal, solusinya adalah
menggelar dialog, bukan membuat UP4B atau otsus plus yang tambah tidak
jelas lagi,” ujarnya.
Baginya, usaha pemerintah untuk mensejahterakan orang Papua, hanya
sandiwara meraup untung. “Pemerintah dan kepentingannya telah gagal
total. Persoalan Papua itu tak bisa diselesaikan dengan undang-undang
otsus, atau yang lainnya, tapi harus dengan dialog, itu harga mati,”
tandasnya.
Dalam dialog kata dia, akan dapat dirumuskan, apa saja persoalan
Papua dan bagaimana mengatasinya. “Itu yang penting, bukan otsus, meski
ada otsus, orang Papua tetap miskin dalam diatas tanahnya,” kata Yoman.
Keberpihakan yang tertuang dalam UU Otsus juga lari jauh bagi orang
Papua. “Sementara perlindungan kepada orang asli tidak ada, masih banyak
yang dibunuh, dan jadi tahanan politik, sedangkan unsur pemberdayaan
disini juga terlihat tidak nyata, pemberdayaan itu hanya milik mereka
yang bukan asli Papua,” paparnya.
Sebelumnya, bulan lalu, Universiatas Katolik Parahyangan (Unpar)
Bandung melakukan kajian akademisi tentang kebijakan otonomi khusus di
Papua. Seperti dirilis Bisnis Jabar, kajian yang dilakukan Centre For
Public Policy and Management Studies (CPMS) itu menemukan, Papua masih
berada diperingkat terakhir dalam kinerja otonomi daerah. Hal tersebut
sering dianggap sebagai fakta tak terbantahkan gagalnya otonomi khusus.
Ironi memang, meski memiliki kekayaan sumber daya alam, tetapi
tingkat kemiskinan dan keterbelakangan masih tinggi dibandingkan dengan
provinsi lain di Indonesia.
Hal tersebut tercermin secara statistik untuk konsesi Freeport.
Tercatat ada 2,5 miliar ton deposito emas dan bahan tambang tembaga, 540
juta m³ kayu komersial, serta 9 juta hektar konversi lahan hutan.
Selain itu, garis pantai daerah yang mencapai 2.000 km, dengan 228.000
km² wilayah perairan, menggambarkan besarnya kekayaan laut hingga
mencapai 1,3 juta ton untuk perikanan. Sayang, dari harta melimpah ini,
orang asli masih tinggal di gubuk. Beberapa survey menyebutkan, tingkat
kemiskinan di Papua bahkan masih tinggi, 41,80%.
Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), seperti dari
Kompasiana, Siti Zuhro mengatakan, kegagalan Otonomi Khusus di Papua dan
Papua Barat dikarenakan dalam penerapannya, pelaksanaan Otonomi Khusus
tidak dikelola langsung oleh Pemerintah Daerah Papua.
Deputi Bidang Koordinasi dan Sinkronisasi Perencanaan dan Pendanaan
Unit Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Papua Barat (UP4B) M
Ikhwanuddin Mawardi menyebutkan, kegagalan Otonomi Khusus juga
disebabkan lemahnya pengendalian dan pengawasan pengelolaan dana Otonomi
Khusus oleh pemerintah pusat, baik Kementerian Dalam Negeri,
Kementerian Keuangan, maupun Bappenas.
Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua diberikan melalui Undang-undang
Nomor 21 Tahun 2001 (Lembaran Negara Tahun 2001 No. 135 dan Tambahan
Lembaran Negara No. 4151) yang telah diubah dengan Perpu No. 1 Tahun
2008 (LN Tahun 2008 No. 57 dan TLN No. 4843).