Aceh Map |
BANDA ACEH - Wakil Ketua Komisi A Dewan Perwakilan Rakyat Aceh
(DPRA) mengatakan Pemerintah Aceh dan Pemerintah Pusat dalam waktu dekat
akan kembali bertemu untuk membahas penyelesaian Rancangan Peraturan
Pemerintah (RPP) tentang Kewenangan Aceh. Namun dalam draf RPP tersebut,
terdapat 35 kewenangan pusat yang telah menjadi kewengan Aceh, akan
kembali menjadi kewenangan pemerintah pusat.
"Ini
yang sedang kami protes dan akan kami desak untuk tetap diberikan.
Karena dalam perjanjian damai (MoU) Helsinki dan Pasal 7 UU No 11 tahun
2006 tentang Pemerintah Aceh disebutkan yang hanya menjadi kewenangan
pusat hanya enam, dan selebihnya menjadi hak Aceh. Namun dalam draf itu
ada 32 kewenangan Aceh yang ingin ditarik kembali menjadi kewenangan
pemerintah pusat," kata Nurzahri kepada acehonline.info, Senin (26/8) di Gedung DPR Aceh.
Seperti yang di kutip HolandiaNews dari Acehonline.info, Rencana
penarikan sejummlah kewenangan Aceh tersebut, Nurzahri menjelaskan,
telah disampaikan keberatan sebelumnya oleh Pemerintah Aceh kepada tim
perumus draf RPP Aceh.
"Hampir seluruhnya
kewenangan Aceh ditarik menjadi kewenangan pusat, seperti sektor
pendidikan, perkebunan, pertanian,dan termasuk juga mengenai
perpustakaan yang akan menjadi kewenangan pusat. Kami nilai ini terlalu
mengada-ngada. Hal-hal yang kecil itu seharusnya tidak perlu
dipermasalahkan lagi, dimana yang perlu dibahas dan diperdebatkan adalah
kewenangan-kewenangan yang bersifat strategis," ujar Nurzahri.
Dalam
pasal 8 UU Pemerintah Aceh, Nurzahri menjelaskan, memang dijelaskan
beberapa hal kewenangan Aceh yang juga menjadi kewenangan pusat yakni
yang berkaitan nasional. Namun menurutnya dalam pasal 7 juga telah
dijelaskan kewenangan tersebut hanya sebatas norma dan prosedur.
"Kalau
hanya sebatas standar norma dan prosedur kami memahami, seperti halnya
pendidikan yang harus memenuhi standar nasional seluruh indonesia yang
ditetapkan pemerintah pusat. Kalau hanya itu kami sepakat, jika Aceh
harus memenuhi standar miminum itu. Namun dalam draf tersebut
keseluruhnya seperti pengelolaan madrasah, sekolah, perguruan tinggi itu
diatur oleh pusat," jelas Nurzahri. "Mungkin persoalan ini akan butuh
waktu dan perdebatan yang panjang," tambahnya.
Selain
itu yang sangat disayangkan, Nurzahri juga menambahkan, Pusat jgua
menilai bahwa hanya pemerintah pusat yang hanya bisa mengatur persoalan
pertanahan, yang seharusnya juga dilimpahkan kewenangannya ke
Pemerintah Aceh.
"Mereka berfikiran terlalu
sempit. Pemerintah Aceh adalah bagian dari negara Republik Indonesia.
Jika Aceh bagian dari Indonesia, maka sah-sah saja ada sebagian
kewenangan pusat yang dikelola oleh Aceh. Jangan pusat menganggap Aceh
bukan bagaian dari negara. Mengapa Disintegrasi (pemisahan wilayah dari
suattu negara) itu ditimbulkan dari pusat, jika diterima Aceh maka ini
akan mengancam keutuhan NKRI itu sendiri," imbuh politisi Partai Aceh
ini.
Kewenangan Bagi Hasil Migas
Sementara
itu mengenai Kewenangan Minyak dan Gas (Migas), Nurzahri menjelaskan,
dari informasi yang diperolehnya, pemerintah pusat telah menyetujui
pengelolaan Migas bersama di atas 12 hingga 200 mil.
"Namun
yang masih menjadi persoalan adalah mengenai pembagian hasil. Pusat
mnginginkan 70 persen dan Aceh 30 persen. Ini yang akan kami perjuangkan
agar dibalik, yakni 70% ke Aceh dan 30% untuk pusat," ungkap Nurzahri.
"Draf
RPP kewenangan dan RPP Migas yang ada saat ini, belum sesuai dengan
keinginan rakyat Aceh dan masih jauh sesuai dengan perjainjian damai
(MoU) Helsinki dan UU Pemerintah Aceh.
Editor: Turius Wenda