Translate

Share

HN. Diberdayakan oleh Blogger.
 
Sabtu, 26 Oktober 2013

Opini: Kunjungan MSG : Berkat atau kutukan bagi orang Papua ?

0 komentar
Forum MSG
By. Budi Hernawan
Akhir bulan September , Vanuatu memecah keheningan atas pelanggaran hak asasi manusia di Papua . Sehubungan dengan krisis kemanusiaan di Suriah , Perdana Menteri Moana Karkas Kalosil mengangkat situasi di Papua dengan Majelis Umum PBB .

Dia meminta agar badan ini menunjuk seorang utusan khusus untuk menyelidiki keadaan pelanggaran HAM di Papua . Vanuatu tidak asing dengan penyebab Papua . Sebaliknya , itu adalah kekuatan pendorong ( MSG ) empati Spearhead Group Melanesia di Papua .


Banyak dari kita mungkin tidak begitu baik informasi tentang undangan diperpanjang oleh pemerintah Indonesia untuk MSG untuk mengunjungi Jakarta dan Papua . Koordinasi Politik , Hukum dan Menteri Keamanan Djoko Suyanto disajikan undangan ke Fiji Voreqe Bainimarama Perdana Menteri selama kunjungannya ke Fiji pada Juni 2013 .


Selama KTT MSG 19 di Noumea , Kaledonia Baru , para pemimpin MSG menyambut undangan dan memutuskan untuk mengirim Menteri Luar Negeri Misi ( FMM ) ke Jakarta dan Papua yang dipimpin oleh Fiji . Keputusan ini mencerminkan musyawarah atas permohonan keanggotaan diajukan oleh Koalisi Nasional Papua Barat Pembebasan ( WPNCL ) atas nama Papua .


Ini merupakan keputusan penting . Ini menyoroti lonjakan kepentingan di antara negara-negara MSG memberi kontribusi signifikan terhadap upaya perdamaian di Papua , daerah dengan konflik yang belum terselesaikan subnasional terpanjang di Pasifik . Lebih penting lagi, dalam semangat kerja sama dengan Jakarta , para pemimpin MSG adalah membuka jalan menuju mengakhiri kebuntuan sekitarnya prakarsa perdamaian yang dipromosikan oleh Papua dan masyarakat sipil Indonesia .


Apa arti penting dari FMM untuk upaya perdamaian Papua ? The 2013 Summit MSG adalah forum pertama dari jenisnya untuk secara resmi mengundang perwakilan Papua . Mereka membahas KTT sebagai tamu resmi. Mereka adalah sama dengan Indonesia dan Timor Leste , yang keduanya memiliki status pengamat . Mereka tidak lagi harus berdiri di belakang delegasi Vanuatu , seperti dulu . Dengan kata lain , orang Papua yang diakui secara internasional sebagai entitas politik sama dengan anggota MSG dan pengamat .


Kedua , jika benar ditangani oleh pemerintah dan Papua , FMM dapat mengukir ruang baru bagi dialog antara Jakarta dan Papua . Ini akan menjadi langkah belum pernah terjadi sebelumnya , mengingat kebuntuan yang dialami oleh kedua belah pihak dalam terlibat dengan prakarsa perdamaian Papua . MSG diplomasi dapat mendorong pihak lawan untuk menemukan solusi layak untuk konflik di Papua .


Ketiga , jika benar dieksploitasi oleh pemerintah dan Papua , kunjungan dapat mengakibatkan peningkatan yang signifikan dari citra kedua belah pihak . Indonesia akan mengambil kredit dan lebih dihormati sebagai demokrasi yang sejati melalui kunjungan tingkat tinggi ke Papua . Papua , di sisi lain , akan mendapatkan momentum dalam upaya untuk secara substansial terlibat dengan diplomasi internasional dalam cara yang lebih strategis.Ada beberapa tantangan utama , bagaimanapun , yang akan dihadapi kedua belah pihak .Pertama adalah masalah kecurigaan pada pihak pemerintah dan over- ekspektasi bahwa Papua . Seperti yang sudah kita ketahui , Indonesia garis keras tetap tahan terhadap menerima gagasan dialog Jakarta - Papua . Jadi kelompok ini cenderung dogmatis dalam menafsirkan diplomasi internasional dengan Papua sebagai upaya untuk melemahkan kedaulatan Indonesia .


Di sisi lain , kedaulatan menyiratkan komitmen untuk perlindungan warga negara . Ini adalah inti dari tanggung jawab untuk melindungi ( R2P ) prinsip yang berlangganan Indonesia .


Di sisi Papua , ada risiko bahwa kunjungan akan disalahartikan sebagai menyediakan solusi meyakinkan untuk konflik Papua . Ini bisa menyesatkan . Sementara semangat persaudaraan Melanesia juga terwakili dalam misi ini , tidak dalam yurisdiksi MSG untuk memecahkan masalah Papua . MSG , namun , pasti akan menyambut setiap undangan untuk bertindak sebagai mediator negosiasi politik Jakarta - Papua , namun opsi seperti itu akan sangat tergantung pada keputusan pemerintah .


Kedua, jika orang Papua tidak mampu membuat persiapan yang tepat dan bekerja sama dengan MSG , tidak mungkin bahwa kunjungan akan tidak lebih dari " bisnis seperti biasa " , dalam arti bahwa hal itu tidak akan memenuhi sebagian besar realitas kompleks konflik Papua . Risiko ini bisa menjadi kenyataan jika orang Papua tidak mempersiapkan agenda spesifik dan rencana aksi untuk FMM . Jika ini terjadi, Papua akan melewatkan kesempatan strategis untuk menyoroti penyebab mereka dengan terdekat mereka , dan paling simpatik , tetangga .


Ketiga , Papua harus memastikan bahwa informasi tentang MSG didistribusikan di antara masyarakat Papua . Masyarakat harus baik-informasi tentang makna , manfaat dan batasan misi diplomatik tersebut. Hal ini diperlukan untuk penghapusan harapan yang tidak realistis diantara orang Papua , dalam rangka menyusun strategi layak untuk solusi damai .


Ini adalah tugas yang menantang , mengingat bahwa pemimpin Papua kunci tertentu yang dipenjara sehingga tidak dapat menyebarkan informasi kepada orang-orang mereka. Masyarakat sipil Papua , bagaimanapun, dapat memainkan peran penting di sini . Bekerja sama dengan media , mereka harus mengisi kesenjangan informasi .


FMM hanya dapat efektif dalam membuka jalan bagi perdamaian di Papua pada dua kondisi : Pertama , harus ada kemauan dari pihak pemerintah untuk bekerja sama sepenuhnya dan memungkinkan akses tak terbatas FMM untuk memenuhi individu dan organisasi yang relevan . Kedua , orang Papua harus mempersiapkan agenda yang jelas dan rencana aksi untuk FMM .

Penulis adalah seorang peneliti paruh waktu di Fransiskan International , sebuah LSM internasional terakreditasi dengan PBB dan berbasis di Jayapura , Jenewa dan New York . Pandangan yang disampaikan bersifat pribadi  - Published: The Jakarta Post

Read more...
Jumat, 25 Oktober 2013

FWPC menghadiri Acara Amnesty International Untuk Filep Karma

0 komentar
Terakhir Jumat 18 Oktober, FWPC  bergabung acara yang digelar oleh  Amnesty International Group untuk meningkatkan kesadaran dan dukungan untuk Papua Barat tahanan politik Filep Karma, yang saat ini menjalani hukuman penjara 15 tahun di Papua Barat hanya karena mengibarkan bendera nasional Papua Barat di Abepura , Papua Barat, 2004.

PBB telah memutuskan bahwa dia ditahan secara ilegal, dan dia dianggap sebagai tahanan hati nurani oleh Amnesty International.

Malam itu dimulai dengan perkenalan dari Reading Amnesty International kepada para pengunjung tentang situasi Filep Karma dan Papua Barat secara keseluruhan.

Pembicara berikutnya adalah Hak Asasi Manusia Internasional Pengacara Melinda Janki yang diuraikan hak jelas Filep Karma kebebasan dan bahwa penahanannya benar-benar ilegal dan tidak bermoral di bawah hukum internasional.

Pendiri Free West Papua dan mantan tahanan politik Benny Wenda kemudian juga memberikan pidato di mana ia menggambarkan dengan jelas kondisi yang dideritanya di balik jeruji penjara di Indonesia dan bagaimana Papua Barat diperlakukan bawah pemerintahan Indonesia.

Selama interval, band Papua Barat terdiri dari buangan Papua yang tinggal di Inggris, The Lani Singers memainkan musik tradisional Papua Barat termasuk lagu tentang sejumlah tahanan politik di Papua Barat hari ini.

Setelah interval, dunia aktivis hak asasi manusia terkenal dan setia pendukung rakyat Papua Barat, Peter Tatchell berbicara pada acara tersebut di mana ia menceritakan bagaimana ia telah mengunjungi ribuan pengungsi Papua Barat yang tinggal di Papua Nugini yang mengatakan dia dulu rekening-tangan pembantaian, pemboman dan penyiksaan.

Duta Besar Indonesia untuk Inggris juga diundang untuk acara tersebut namun menolak untuk hadir, bukannya mengirimkan seorang konselor dari kedutaan besar untuk bertindak sebagai delegasi.

Konselor, Dino Kusnadi, adalah dirinya mantan juru bicara Kedutaan Besar Indonesia di Canberra, Australia.

Dia pertama kali bertanya kepada Petrus Tatchell bagaimana ia menganggap Papua Barat menjadi tidak bebas dan Peter segera menjawab bahwa tidak ada kebebasan dan demokrasi di Papua Barat sampai semua pelanggaran hak asasi manusia seperti yang dari penahanan Filep Karma dan tindakan nasib sendiri Penentuan diadakan di Papua Barat.

Benny Wenda juga menanggapi komentar Kusnadi dengan meminta bahwa jika Papua Barat adalah bebas, pertama mengapa dia, Benny Wenda di Inggris di tempat pertama? Dia juga meminta konselor Indonesia bagaimana Papua Barat dapat dianggap bebas ketika Filep Karma masih dipenjara dan menjalani 15 tahun penjara hanya karena mengibarkan bendera nasionalnya.

Dia juga menunjukkan fakta bahwa Indonesia tidak memiliki hak untuk menempati Papua Barat di tempat pertama sehingga setiap pembicaraan tentang "otonomi" yang berarti pula karena semua orang Papua Barat inginkan dan butuhkan dari Indonesia adalah kemerdekaan.

Dino Kusandi menolak untuk mengomentari mengapa Indonesia menduduki Papua Barat dan bahkan tidak pernah menyebutkan Filep Karma.

Dia malah melakukan serangan panjang tentang Benny, mengklaim ia adalah orang yang bersalah dan bahwa ia hanya datang ke Inggris untuk melarikan diri penjara - (meskipun fakta bahwa Interpol telah menghapus surat perintah penangkapan terhadap Benny setelah penyelidikan menyimpulkan bahwa tuduhan terhadap dirinya bermotif politik dan upaya oleh Pemerintah Indonesia untuk membungkamnya)

Benny mencontohkan komentar ini dalam menanggapi Kusnadi dan bersama dengan Peter Tatchell, menerima beberapa tepuk tangan dan persetujuan dari seluruh kerumunan.

Komentar Dino Kusnadi memperlihatkan sekali lagi bahwa pemerintah Indonesia sangat khawatir tentang kesadaran yang semakin meningkat dan dukungan bagi orang-orang yang menderita di Papua dan bagaimana Kedutaan Besar Republik Indonesia di Inggris masih siap untuk meluncurkan tuduhan keterlaluan terhadap para aktivis damai hanya cukup untuk berbicara tentang hak dasar mereka dan kebebasan.

Putri Filep, yang dijadwalkan untuk datang ke acara tersebut, membantah visa ke Inggris

Filep putri Audryne yang saat ini tinggal di Indonesia, diundang oleh Amnesty International Reading untuk menghadiri acara tersebut dan sangat bersedia untuk datang ke Inggris untuk acara ini dan berbicara Inggris House of Lords seperti yang juga diatur tetapi pada saat terakhir, dia ditolak visanya oleh Pemerintah Inggris setelah mendapat tekanan yang dicurigai dari Kedutaan Indonesia.

Pemerintah Indonesia sudah pasti erat menonton semua gerakan dengan Papua Barat dan dalam Panduan West Papua Campaign yang semakin meningkat kecurigaan dan ketakutan.

Namun, dia merekam pesan video yang luar biasa bagi kita semua di acara menunjukkan dukungannya untuk Evening. Anda dapat menonton video ini di sini

Terima kasih kami

Kami ingin menyampaikan terima kasih kami yang paling hangat semua orang yang menghadiri acara Amnesty ini dan semua orang yang terus tanpa lelah mendukung tahanan politik Papua seperti Filep dan Papua Barat yang masih mendambakan kebebasan mereka yang masih ditolak kepada mereka oleh pemerintah dari Indonesia.

Juga, terima kasih khusus harus diberikan pada semua pembicara, Sean, Malinda, Benny dan Peter dan juga untuk Audryne Karma dan keluarganya untuk ketahanan mereka yang luar biasa dan berkat bagi kita semua selama pertemuan ini.

Hal ini dengan menghadiri acara-acara seperti yang kita akan terus menunjukkan dukungan dan meningkatkan kesadaran untuk Filep, sesama tahanan politiknya dan semua orang Papua masih menderita di bawah kekuasaan militer Indonesia.

Akhirnya, kami mengucapkan terima kasih kepada Filep Karma, untuk tak berujung, kekuatan dan kepercayaan di Papua Barat Gratis nya.

Semua pikiran dan doa kami dengan Filep dan umat-Nya, suatu hari mereka akan mendapatkan kebebasan sejati dan keadilan.



Read more...

YORRYS RAWEYAI: MASALAH MSG PENTING DI DPR-RI

0 komentar
Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI), Yorrys Raweyai mengatakan, isu Papua selalu menjadi isu penting dalam setiap pembahasan di DPR-RI. Isu Papua yang menguat saat ini adalah Melanesian Spearhead Groups (MSG).
 
“Papua menjadi isu paling penting sekarang di DPR-RI, selalu nomratif saja. Saya mencoba mengangkat berbagai masalah Papua dalam pertemuan-pertemuan kami. Dan hal yang serius kita bahas saat ini, yaitu masalah MSG,” kata Yorrys saat bincang-bincang dengan para wartawan di Swiss-bell Hotel, Jayapura, Kamis (24/10) malam.

Menurut Yorrys, road show di luar negeri yang dilakukan Benny Wenda tentang hak-hak hidup di tanah Papua mendapat simpati yang cukup luas. Sehingga pihaknya membentuk Panja Khusus masalah Papua di DPR-RI. Masalah Papua memang terlalu cepat menjadi isu internasional.

“Sehingga saya berharap Menteri Luar Negeri (Menlu) Republik Indoensia harus membangun komunikasi dari atas hingga ke bagian paling bawah di Papua. Carut marut politik bukan pada tataran pelaku politik praktis yang ada di dewan saja saat ini tetapi intelektual bangsa juga sudah masuk pada tataran ini. Dinamika politik terus bergerak dinamis dalam enam bulan ke depan,” tutur Yorrys lagi.

Terkait hal itu, Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Jayapura di Papua, Victor Mambor menilai, saat ini Papua dalam keadaan krisis kepemimpinan. Victor juga mengkritisi kepemimpinan para pejabat di Papua saat ini, termasuk Gubernur Papua. “Seharusnya, orang-orang di sekitar gubernur misalnya harus lebih baik. Sehingga ada hal yang lebih baik yang dapat dilakukan oleh gubernur,” katanya, dihadapan wartawan di Swiss-bell Hotel, Jayapura, Kamis (24/10) malam.

Selain itu, menurut Victor, perlu terus melatih anak-anak muda jadi pemimpin, seperti yang dilakukan di Sekolah Demokrasi. “Sebab ini menjadi penting. Artinya, masih ada tempat yang lebih luas untuk belajar bertanggungjawab. Banyak anak muda sekarang yang punya kemampuan dan  kapasitas, tapi tak diberi tanggungjawab. Sehingga akhirnya mereka jadi frustasi,” katanya.  

Read more...

Kebodohan Mendagri Kedua Kali Lagi "Lurah Susan - FPI"

0 komentar
Mendagri pernah mendukung Lurah Lenteng Agung Susan Jasmine Zulkifli di Pecat, Sekarang Kepala Daerah menyalin kerja sama dengan Front Pembela Islam (FPI) yang selama ini di kenal organisasi Anarkis.

Mendagri Gamawan Fauz
Mendagri Gamawan Fauzi mengimbau kepala daerah menjalin kerja sama dengan FPI. Kepala daerah seharusnya tidak alergi dengan organisasi kemasyarakatan (ormas). Menurut Gamawan, kerja sama bisa dilakukan untuk program-program yang baik. "Kalau perlu dengan FPI juga kerja sama untuk hal-hal tertentu.

Warga Indonesia tidak alergi terhadap ormas. Tapi warga Indonesia alergi sama ormas yang mengatasnamakan agama untuk melegalkan kekerasan. Indonesia negara hukum, kutipan seseorang dari kompas.

Selama ini keberadaan Ormas FPI, ditolak habis-habisan keberadaannya oleh warga, Kenapa Ormas ini menjadi anti rakyat indonesia, Ormas ini dikenal dengan pendekatakan kekerasan atas semua pekerjaan yang mereka laksanakan.

Selama Ormas ini adalah, pasti ada kekacauan dan hal menjadi polemik bagi rakyat indonesia, bahkan pentinggi negara juga membicarakan ormas ini.
Namun anehnya Menteri Dalam Negeri  Gamawan Fauzi mengimbau kepala daerah menjalin kerja sama dengan FPI.

Komentar Kontroversial Sebelumnya juga, Gamawan ikut campur kasus lurah Susan, "Gubernur Joko Widodo (Jokowi) harus mempertimbangkan untuk memindahkan Lurah Susan"

Gamawan meminta Jokowi mengevaluasi penempatan Susan sebagai Lurah Lenteng Agung, Jakarta Selatan. Menurut Gamawan, penolakan warga terhadap Lurah Susan yang beragama non muslim, dikhawatirkan akan mengganggu kinerjanya

Statement itu ditanggapi Ahok "Kalau gitu Mendagri berarti sepakat dong orang demo karena agama. Harusnya yang diomelin kan yang demo". Dan Ahok Mengajak Mendagri belajar Kontitusi bahwa negara ini kelola bukan atas nama Agama, Ras tapi Kontitusi berdasarkan Pancasila.

Jadi Mendagri bermanufer untuk menjual kebodohannya, Setulnya stekmen lurah susan sudah menjadi pelajaran bagi Mendagri atas penafsiran publik, namun sekarang Dia mengulang lagi! waduh masa seorang mendagri turun tangga, jabatan kenegaraan sampai Lurah selanjutnya turun lagi ke Ormas, besok turun lagi ke keluarga ha ha.
 


 

Read more...
Rabu, 23 Oktober 2013

Laporan AHRC: Genosida Yang Terabaikan di Papua Barat

0 komentar
Decades of conflict in Papua, Indonesia, continue to cost the lives of civilians, soldiers and resistance group members. Ongoing human rights violations range from extrajudicial killings and intimidation of journalists to discrimination in health care, education and access to conomic opportunities. 
These are just the tip of the iceberg where violations of indigenous Papuans are concerned and these violations shape current Papuan perspectives on Indonesia. In this context, a solution for both indigenous Papuans and Indonesian national interests has so far remained out of reach.

Responding to the uprisings which surrounded the 1977 general elections in Papua, several military operations were launched in the Papuan highlands around Wamena. The response caused a further breakdown in the Papuan–Indonesian relations which had fallen apart at that time. The operations resulted in mass killings of, as well as violence against civilians. The stories of survivors recall unspeakable atrocities including rape, torture and mass executions. 
Estimations of the number of persons killed range from 5,000 up to tens of thousands. The research done for this report is consistent with these numbers, although restricted access to the area and ongoing intimidation of witnesses makes it difficult to confirm an upper limit of the number of victims.

Papua is now populated by both Papuans and increasing numbers of transmigrants from other parts of Indonesia. The initiative of the Papua Peace Network (Jaringan Damai Papua, JDP) to bring all stakeholders in Papua and those from Jakarta together for a peaceful dialogue in order to discuss a peaceful future for all residents of Papua remains an important initiative to reconcile the ongoing conflict. 
Without the freedom to articulate memories of past violations locally and opportunities for victims to heal their trauma, resentment against the Indonesians and their authority remains and this will continue to fuel the conflict. Reviewing and recognising the history of violence and its overarching effect on the relationship between Papuans and Indonesian authorities is thus a necessary step forward.

With the view to move forward in the conflict and to address the grievances of countless Papuans who suffered violence or lost family members, it is important to understand the history of mass violence experienced by the Papuans as well as the severity and background of their resentment against the government of Indonesia. 
Such an understanding will support solutions to the ongoing Papuan–Indonesian conflict. This report –which only covers one of the main violent events in the history of Papuan-Indonesian relations– tries to contribute to this process, seeking to acknowledge the suffering of thousands of victims and building towards a sorely needed common understanding of history.

 
Download the report:

Read more...
Selasa, 22 Oktober 2013

TNI/Polri: Teror dan Intimindasi Terhadap Asrama Mahasiswa Papua

2 komentar
JAYAPURA 22 OKTOBER 2013. Sungguh ironis dan sagat mengerikan kondidi terakhir ini sangat memperihatinkan, teror dan intimidasi terhadap rakyat Papua Barat terus terjadi. Teror dan intimindasi yang dilakukan oleh aparat kepolisian dan TNI di papua bukan hanya terjadi terhadap masyarakat, sipil namun juga dirasakan oleh mahasiswa di linggungan kampus maupun asrama.

Hal ini telah terbukkti teror dan intimindasi oleh Anggota TNI/POLRI pada hari ini selasa 22 oktober 2013 di asrama uncen (Rusenawa ) perumnas III waena pada pukul 05.15 WPB subuh.
Sesuai laporan saksi mata dan juga sebagai Ketua asrama rusenawa Uncen Tanius komba menyelaskan bahwa, Pada pukul 05.15 WPB Aparat kepolisian dari pos penjagan perumnas III bersama anggota TNI datang menggunakan Motor dengan membawa senjata lengkap masuk di halaman gedung asrama uncen (rusenawa).
Melihat tersebut para penghuni asrama yang bagun lebih dulu keluar untuk menanyakan kedatangan para aparat kepolisian dan anggota TNI tersebut, namun para anggota TNI tanpa kompromi dengan pengurus maupun penghuni asrama langsung mengeluarkan tembakan sebanyak 5 kali, sehingga mahasiswa yang sedang tidur terbagun lalu semua keluar dari kamar masing-masing dan cari jalan masing masing-masing karena ketakutan.
Melihat hal tersebut Ketua asrama Tanius Komba bersama Mael Alua dan pengurus lainya berusaha mendekati para anggota TNI yang terus mengeluarkan tembakan tersebut, namun para anggota TNI dan polisi bukanya kordinasi dengan pengurus malah mengancam tembak ketua asrama. Dan terus melakukan penembakan ke arah asrama, para anggota TNI tersebut mengeluarkan tembakan di asrama sebanyak 9 kali penembakan namun untung tidak ada mahasiswa yang kena tembakan tersebut.
Pada hal ketua asrama Tanius Komba  dan anggota lainya tersebut hanyalah berniat baik menanyakan kedatangan mereka (TNI/POLRI)  itu untuk cari siapa dan juga ada masalah apa di asrama sehingga para aparat tersebut datang dengan peralatan lengkap dan tembak-tembak sembarang di halaman asrama.
Namun para aparat menghiraukan upaya yang dilakukan pengurus asrama dan terus mengacam dan melakukan tembakan ke arah asrama. Melihat ancaman tersebut Ketua asrama membangunkan semua penghuni yang sedang tidur dan  memanggil penghuni yang sedang lari berhamburan keluar dari kamar masing-masing karena takut mendengar tembakan yang dikeluarkan oleh anggota TNI tersebut.

Anggota TNI/ Polri yang datang di asrama tersebut berjumlah sekitar 5-7 orang, masing masing Anggota TNI berpakian preman dengan senjata lengkap sekitar 5 orang sedangkan anggota polisi 2 orang berpakian pereman juga.

Para anggota tersebut melihat semua penghuni beteriak keluar dari kamar masing-masing dan semua kumpul di halaman asrama baik perempuan maupun laki-laki, lalu para penghuni asrama bersama pengurus mendekati mereka namun para aparat tersebut lari meninggalkan tempat atau asrama.

Melihat kejadian tersebut mengancam keamana para penghuni asrama sehingga badan pengurus asrama mengumpulkan semua penghuni baik dari asrma unit satu samapai degan unit enam dan penghuni Rusunawa menuju gapura uncen perumnas III untuk palang kapus guna protes terhadap tindakan atau ancaman dan teror yang dilakukan oleh Anggota TNI/POLRI.

Pada pukul 06.00 WPB semua penghuni asrama Unit satu sampai unit enam dan seluruh penhuni rusenawa kumpul di kapura uncen dan palang kampus,  karena menurut pengamatan mereka teror dan intimidasi tersebut bukan hanya baru terjadi sekali namun sudah sering terjadi oleh aparat kepolisian maupun TNI, yang terjadi hari ini adalah yang ke 5 kali sehingga penghuni asrama melakukakan pemalangan kampus dan para mahasiswa juga sempat bikin api unggu  di pintu masuk kapura Uncen perumnas 3 waena .

Lalu para mahasiwa tersebut melakukan orasi-orasi menggunakan mengapone, aksi porotes terhadap teror dan intimindasi tersebut dipimpin lagsung oleh badan pengurus asrama rusenawa Tanius Komba dan Ismael Alua, dalam orasi-orasinya para mahasiswa tersebut meminta agar Rektor Universitas Cendrawasih Uncen , Kapolda Papua, Dandim Pangdam Walikota serta Kapolresta kota jayapura hadir untuk mempertaggung jawabkan dan juga memberikan penyelasan kepada mahasiswa tentang tidakan teror dan intimidasi yang dilakukan oleh aparat tersebut.

 Namun pangdam, dandim, walikota serta Kapolda tidak hadir ditempat karena mereka berada diluar jayapura sehingga yang  pada pukul 09 30 WPB Kapolesta dan rektor yang hadir di tempat mahasiswa melakukan demo damai tersebu. Setelah kapolresta kota jayapura AKBP Alfret Papare  dan Rektor Unsen prof. Dr.Karel Sesa M.si hadir di tempat para mahasiswa menyampaikan beberapa tuntutan diantaranya :

  1. Para mahasiswa uncen Penghuni asrama perumnas III tersebut mendesak kepada Polreta kota jayapura segera Tutup Pos Penjagan yang ada di perumnas III waena
  2. Mendesak kepada Pangdam dan Dandim segera menarik Anggota TNI yang menjaga pos di perumnas III dan pos penjagaan TNI tersebut harus dittup
  3. Mendesak kepada Rektor lembaga uncen menjamin keselamatan mahasiswa penhuni asrama Uncen Unit 1 sampai unit 6 dan Asrama Rusenawa.
  4. Para Mahasiswa penghuni asrama juga mendesak untuk segera melakukan penada tanganan diats Hitam Puti dari masing pihak yaitu; antara Mahasiswa, Rektorat Dandim dan Polresta Kota Jayapura untuk penutupan dua pos penjagaan baik pos TNI maupun  POLI yang ada di perumnas 3 Waena.

Setelah melakukan kesepakatan antara mahasiswa, Rektorat dan kapolresta lalu pada pukul 10.15 masa demo mahasiswa membubarkan diri secara tertib dan aman





Read more...
Sabtu, 19 Oktober 2013

KNPB: Fitnah Statement Polda Papua soal Korban di Yahukimo

0 komentar
JAYAPURA - Bertepatan Demontrasi Komite Nasional Papua Barat (KNPB) di seluruh wilayah papua 16/10 adalah himbauan KNPB pusat dalam agendanya. 

Saat hari yang sama, seorang tewas akibat tikaman beda tajam, serta dua orang dalam keadaan sekarat akibat tikaman benda tajam yang dilakukan oleh EM dan VL dari massa Suku Kimial, di Dekay, Kabupaten Yahukimo.

Kejadian ni mendapat tanggapan resmi dari pimpinan pusat KNPB, dari Ketua I KNPB Agus Kossay didampingi dua anggotanya, Stracky Yali dan Tonny Kobak ketika jumpa pers, di Café Axel Waena, Kamis (17/10) kemarin sore.

“Saya ingin menanggapi terkait dengan adanya pemberitaan mengenai aksi demo yang berakhir ricuh dan menewaskan satu orang serta dua orang akibat dipicu masalah perselingkuhan dengan Suku Kimail.

Lanjutnya, menurut Agus kejadian itu tidak ada kaitannya dengan aksi demo KNPB, dan terjadi diluar tanggung jawab aksi, karena kejadiannya jauh dari masa aksi, kami sudah menerima laporan resmi dari pengurus KNPB wilayah yahukimo dan KNPB tidak akan bertanggung jawab,” ucap Agus Kossay.

Dikatakan, pihaknya sudah mendapatkan laporan langsung dari lapangan terkait persoalan yang terjadi di Kabupaten Yahukimo bahwa itu tidak termasuk dari massa aksi dan di luar dari tanggungjawab KNPB.

“Dengan adanya pernyataan dari Polda Papua melalui Kabid Humas Polda Papua AKBP Sulistyo Pudjo Hartono, S.I.K., di media Bintang Papua terbitan hari ini (kemarin) sangat melecehkan kami, ini fitnah bagi KNPB, 

Statement Polda papua tidak realitis dan seolah-olah jadikan KNPB sebaga organisasi kriminal, karena yang bersangkutan (Korban) tidak termasuk dalam anggota KNPB maupun struktur kepengurusan dalam KNPB,” katanya dengan nada keras. 

Dan juga persoalannya masalah perselisihan atau perselingkuhan bukan masalah demo KNPB, harusnya Polda Pilakan persoalan dulu, jangan ngomong sembarangan dan seolah korban tewas dalam aksi KNPB! Nah ini yang tidak benar. katanya dengan kesal.

“Jadi, kami dari KNPB tidak akan bertanggung jawab tentang kasus penikaman yang dipicu dugaan perselingkuhan itu, dikarenakan kami juga mempunyai aksi dan tujuan yang jelas yakni memperingati HUT IPWP ke-5 serta menyambut pidato PM Vanuatu Moanan Kalosil Carasses, sehingga peristiwa tersebut tidak berkaitan dengan aksi kami atau diluar dari kegiatan KNPB,” tegasnya.

Agus mengharapkan, kepada Polda Papua dalam hal ini Kapolda Papua harus menyatakan sesuatu itu berdasarkan fakta di lapangan dan juga didukung dengan bukti - bukti realistis dan jika itu kriminal proses saja hukum, kenapa harus kaitkan KNPBM

Jadi, saya ingin menyampaikan bahwa KNPB ada itu untuk berjuang secara secara profesional, Kami berjuang dan menjunjung tinggi nilai Kemanusiaan, Demokrasi, HAM, bukan memakai cara - cara lama seperti kekerasan atau dengan pikiran emosional,” tukasnya.

Pendekatan kekerasan bukannya jaman lagi, pendekatan kami (KNPB) adalah perjuangan Damai, Simpatik dan bermartabat tuturnya 

Read more...

HENDAK PERINGATI NFRPB, POLISI TANGKAP 22 WARGA FAKFAK

0 komentar
Jayapura, 19/10(Jubi)Kepolisian Resort Fak-Fak, Papua Barat menangkap 22 warga yang hendak merayakan dua  tahun deklarasi Pemulihan Negara Federal Republik Papua Barat (NFRPB) di wilayah tersebut, Sabtu(19/10).

“Ada 22 orang ditahan di Fak-Fak,” kata Enggelbert Surabut, ketua Dewan Nasional Papua (DNP), kepada wartawan saat menggelar jumpa pers  di Kantor Dewan Adat Papua, di Expo Waena, Abepura, Kota Jayapura, Sabtu. Dalam jumpa tersebut, Enggelbert merinci puluhan warga yang ditangkap.

Nama-nama yang ditangkap, yakni: Imbron Kutangas, Dani Hegemur,Yanto Hindom,Zakarias Hegemur, Tyzon Kabes, Rojer Hindom,Simon Hindom,Alex Pebehero, Donny Gredengo, Yordanis Murry, Bernardus Murry,Modes Komber,Alex Gouden,Samuel Rohrohmana, Alipus Irhewa,Endy Sirfefa, Imbron Kutanggas,Ko

Penangkapan berlangsung ketika mereka hendak menuju tempat Ibadah syukuran HUT NRFPB. “Mereka saat pergi hendak mau ibadah syukuran,” tuturnya.  Enggelbert tak menyebut alamat tempat ibadah.
Selain di Fakfak, lanjut dia,  di Manokwari, polisi membubarkan masa yang hendak menggelar ibadah syukuran NRFPB disebuah gereja di daerah itu. “Lebih Fatal lagi di Manokwari, saat orang beribadah di bubarkan,” tutur dia lagi.

Sementara  di Jayapura, aparat menghadang warga masa yang hendak menggelar syukuran di Lapangan Makam Theys dan Sabron di Sentani, Kabupaten Jayapura. “Saat rakyat yang dipimpin Alius Asso hendak menuju tempat Ibadah di Sabron, di hadang pihak keamanan,” ujarnya.

Penghadangan terjadi di jalan Abe-Sentani, persinya di tikungan tugu perbatasan Kota Japura dan Kabupaten Jayapura. “Masa yang dipimpin Alius Aso di hadang. Akibatnya kami tidak merayakan perayaan,” kata Alius Asso. Alius sempat diamankan ke  pos polisi terdekat, tepatnya di depan Museum Expo Waena, di Abepura, kemudian dipulangkan.

Sementara itu, Kabid Humas Polda Papua, AKBP Sulistyo Pudjo Hartono saat di konfirmasi tabloidjubi.com via pesan singkat mengaku, pihaknya akan memberikan keterangan resmi terkait penangkapan 22 orang warga Fakfak itu pada Minggu (20/10). “Jawabannya besok, tunggu sampai informasinya sahih,” tutur Sulistyo Pudjo Hartono melalui pesan singkatnya. (Jubi/Mawel)

Read more...

West Papua Media: Planned MSG Foreign Ministers Visit to West Papua Lacks Transparency

0 komentar
(The Hague): As allegations surface of Indonesian military-linked businessmen providing envelopes of “hefty cash” to senior officials in the Solomon Island’s Prime Ministerial delegation during the recent APEC summit in Bali, a high level source inside the Melanesian Spearhead Group has raised concerns over Indonesia’s subversion of the agreed visit of Melanesian Foreign Ministers to West Papua, in an exclusive interview with West Papua Media.

An explosive but carefully worded article in the Solomon Star newspaper on October 11 has alleged that Indonesian officials provided members of Solomon Islands government with large amounts of cash contained in yellow envelopes, during an official dinner hosted in honour of the Prime Minister Gordon Darcy Lilo and his delegation.

According to the Solomon Star report, at least five members of the delegation have admitted to receiving the payments, amongst a total of 17 delegation members alleged to have received the envelopes. The report, from interviews by journalist Alfred Sasako with a highly placed whistleblower in Honiara, alleged that at least two “names withheld” senior officials received USD$25, 000 each, three others received USD$10, 000 and a final two delegation members received USD$5, 000 each respectively.

“It seems the level of payment is based on seniority, the higher you are, the more you get,” the sources told the Solomon Star.

After the publication of the new allegations, West Papua Media spoke on Saturday to a well-respected customary figure in the Solomon Islands, who described the latest revelations as proof of long-standing suspicions “that Indonesia is involved in a corrupt subversion of Melanesian solidarity on the West Papua issue. The source described the behaviour of Prime Minister Gordon Darcy Lilo in arranging unilateral visits to West Papua as “an affront to the Melanesian Way that is deliberately undermining the quality of what a properly constituted MSG Fact-finding mission can uncover in West Papua.”

“The Prime Minster is siding with Indonesia to cover up the crimes against the West Papuan people, by diluting the effectiveness of a multilateral fact-finding team to assess the real situation in West Papua. What other deals is he doing for the Solomon Islands with these Indonesian military businessmen? Are our islands going to be the next West Papua?” the source told WPM. The customary source, who had no involvement with the Solomon Star revelations, declined to be identified for this article citing fears of being labelled as the whistleblower.

“This is not about me anyway, this about the questions for all Melanesian people about how far Indonesia is willing to bully or bribe Melanesians, and how some Melanesians like our Prime Minister are potentially having their pockets lined with blood money for turning their backs on the suffering of our Melanesian family in West Papua,” the source told WPM with some indignation.

Prior to the MSG meeting in Noumea in June 2013 the Indonesian and Fijian governments agreed to a multi-lateral visit to West Papua by MSG Foreign Ministers. The proposal was raised at the Noumea meeting by Fiji in part to defer a decision over whether West Papua would be granted membership into the MSG or not. The MSG Ministerial team has undertaken to write a report following their visit. This report will then help guide the MSG’s decision regarding West Papua’s membership. Since June, however, serious doubts have been raised as to how transparent the organising of the MSG Foreign Ministers is, or even whether it will happen at all.

A high-level source inside the MSG who was at the meeting in Noumea but asked not to be named told WPM on condition of anonymity, that it was highly unlikely that the MSG will revoke Indonesia’s observer status, but that they could give West Papua ‘associative status’, which is a higher level of membership. However, the source then went on to say that it is now “not clear what is happening”.

The concerns are serious. First, no date has been set for the Foreign Ministers visit to West Papua. Second, neither the MSG Secretariat nor Melanesian nations are organising the visit. “The Foreign Ministers all rely on an invitation from the Indonesian government. It is not clear if such an invitation has been issued and it is not clear who will pay for it. My advice to member countries is that each Melanesian country pays for their own visit themselves” said the senior MSG bureaucrat. “That way the Foreign Ministers will not be beholden to the Indonesian government and that their status as independent advisors to the MSG is more likely to be guaranteed.”

Most concerning is that the idea of a multi-lateral visit could be abandoned. “It is possible” said the MSG official “that the foreign ministers could travel to West Papua separately and not as a group”. This is the most likely possibility given the revelations in the Solomon Star.

Although privately many Melanesian politicians support independence for West Papua the official cautioned against false hopes. “West Papuans should not have high expectations from the forthcoming MSG foreign ministers support.”

At this stage it appears highly unlikely that the Melanesian foreign ministers report will reflect the political reality inside West Papua or the aspirations of the West Papuan people. This view is reflected in the recent comments from Mr Gordon Lilo, the Prime Minister of the Solomon Islands, who told Indonesia’s Antara state news agency that he is “impressed with the progress” the Indonesian government has made in West Papua. Mannaseh Sogovare, the Solomon Islands opposition leader, criticised Lilo’s comments saying that he had “probably been overwhelmed by the reception of the hosts and obviously the Indonesians have gone out of their way to put on the wow factor to make sure that Lilo is wooed out of any views that he may have had in support of West Papuan membership of the MSG,” reported Radio New Zealand.

Comment about the corruption of the Fact-Finding process has also been repeatedly sought by West Papua Media from the office of Vanuatu Prime Minister Moana Carcasses, however the Prime Minister was unavailable to comment on the allegations. However, Carcasses issued a historic and moral challenge to the international community at the United Nations General Assembly in New York in late September, by calling for the appointment of a Special Representative to investigate historical and ongoing of human rights abuses by Indonesia.

‘How can we then ignore hundreds of thousands of West Papuans who have been beaten and murdered? The people of West Papua are looking to the UN as a beacon of hope… Let us, my colleague leaders, with the same moral conviction, yield our support to the plight of West Papuans. It is time for the United Nations to move beyond its periphery and address and rectify some historical errors,” Carcasses told the UN General Assembly.

These are the words that Melanesian leaders may well be reflecting on as they ponder the ramifications of accepting Indonesia’s subversion of the MSG Fact Finding Team process.

As well as sharing his concerns, the senior MSG official also had some practical advice for Papuan leaders. “All of us at the MSG are observing very closely developments inside West Papua. In order for us to assist the West Papuan application for membership Papuan leaders need to present a unified position that is backed up by strong support from civil society. The good news is that there is moral support from inside the MSG. Even senior leaders in the United Nations privately recognise that West Papua is an occupation.”

However, without unity of purpose from West Papuan leaders and strong grassroots support from inside Melanesian countries, the Indonesian government could out-manoeuver West Papua again.


etanetanetanetanetanetanetanetanetanetanetanetan

Urge Indonesia to Say Sorry for 65 - sign today: https://www.change.org/petitions/president-sby-say-sorry-for-65

Please help strengthen our vital work, donate today. http://www.etan.org//etan/donate.htm

2012 Recipient of the Order of Timor (Ordem Timor)

John M. Miller, National Coordinator
East Timor & Indonesia Action Network (ETAN)
Phone: +1-718-596-7668   Mobile phone: +1-917-690-4391 
Email: etan@igc.org Skype: john.m.miller Twitter: @etan009
www.etan.org

Send a blank e-mail message to info@etan.org to for information on other ETAN electronic resources on East Timor and Indonesia

etanetanetanetanetanetanetanetanetanetanetanetan



Read more...

Selpius Bobii & many others in hiding, 57 West Papuans political prisoners

0 komentar
Papuans Behind Bars has been launched as an online information service – http://www.papuansbehindbars.org/ – for the rest of the world to be aware of West Papuans imprisoned by Indonesian authorities – political prisoners and prisoners of conscience. This morning The Stringer was contacted by supporters of West Papuan conscience objector Selpius Bobii, who is in hiding from the Indonesian authorities, to tell The Stringer that Mr Bobii has been reading our news site and if we can highlight his plight and that of other West Papuans. 

The Stringer will bring an interview with Mr Bobbi, and his views on the ways forward with the West Papuan cause. West Papuans believe that Australia must play an imperative role in the ways forward, and engage in the world’s unfolding human rights and social justice agendas – freedom and equality for all peoples at all times. 

On September 2nd, supporters of the Freedom Flotilla to West Papua gathered outside the Department of Foreign Affairs and Trade in Brisbane. They were protesting against the August 28 arrest of four supporters of the Flotilla in the West Papuan town of Sorong. Those arrested are now facing charges of treason because they raised the West Papuan Morning Star flag.

According to Papuans Behind Bars there are 57 Papuans jailed for cultural and political expressions. Despite all the allegations by a variety of sources of ex-judicial killings, torture and various persecution, the Australian Government has shown to have a deaf ear, instead seemingly choosing to override West Papuan peoples’ concerns with the neighbourly relationship they are seeking from Indonesia. Prime Minister Tony Abbott has bent over backwards in expressing his respect “for the sovereignty of Indonesia”. Amnesty International has called on Indonesian authorities to drop the charges against the four supporters. 

More Orginal News:




Read more...

Yoman: Otsus Papua Gagal, Dialog Pilihan Terbaik

0 komentar
PELAKSANAAN Otonomi Khusus belasan tahun, dinilai tak berdampak bagi Orang Asli Papua. Otsus sebaliknya menjadikan pemilik tanah makin terpuruk.

“Otsus sudah gagal, oleh sebab itu, yang didorong saat ini adalah dialog antara Jakarta dan Papua,” kata Ketua Pengurus Badan Persekutuan Gereja-gereja Baptis Papua (PGGBP), Pendeta Socrates Sofyan Yoman, kepada SULUH PAPUA di Jayapura, kemarin.

Menurut dia, persoalan Papua hanya dapat diselesaikan lewat dialog damai, yang jujur dan setara antara Indonesia dan Papua. Dialog itu tanpa syarat dan dimediasi oleh pihak ketiga di tempat netral. “Dalam pertemuan di MRP beberapa waktu lalu dalam rangka mengevaluasi otsus, sudah jelas diputuskan bahwa otonomi khusus gagal, solusinya adalah menggelar dialog, bukan membuat UP4B atau otsus plus yang tambah tidak jelas lagi,” ujarnya.

Baginya, usaha pemerintah untuk mensejahterakan orang Papua, hanya sandiwara meraup untung. “Pemerintah dan kepentingannya telah gagal total. Persoalan Papua itu tak bisa diselesaikan dengan undang-undang otsus, atau yang lainnya, tapi harus dengan dialog, itu harga mati,” tandasnya.

Dalam dialog kata dia, akan dapat dirumuskan, apa saja persoalan Papua dan bagaimana mengatasinya. “Itu yang penting, bukan otsus, meski ada otsus, orang Papua tetap miskin dalam diatas tanahnya,” kata Yoman.

Keberpihakan yang tertuang dalam UU Otsus juga lari jauh bagi orang Papua. “Sementara perlindungan kepada orang asli tidak ada, masih banyak yang dibunuh, dan jadi tahanan politik, sedangkan unsur pemberdayaan disini juga terlihat tidak nyata, pemberdayaan itu hanya milik mereka yang bukan asli Papua,” paparnya.

Sebelumnya, bulan lalu, Universiatas Katolik Parahyangan (Unpar) Bandung melakukan kajian akademisi tentang kebijakan otonomi khusus di Papua. Seperti dirilis Bisnis Jabar, kajian yang dilakukan Centre For Public Policy and Management Studies (CPMS) itu menemukan, Papua masih berada diperingkat terakhir dalam kinerja otonomi daerah. Hal tersebut sering dianggap sebagai fakta tak terbantahkan gagalnya otonomi khusus.

Ironi memang, meski memiliki kekayaan sumber daya alam, tetapi tingkat kemiskinan dan keterbelakangan masih tinggi dibandingkan dengan provinsi lain di Indonesia.

Hal tersebut tercermin secara statistik untuk konsesi Freeport. Tercatat ada 2,5 miliar ton deposito emas dan bahan tambang tembaga, 540 juta m³ kayu komersial, serta 9 juta hektar konversi lahan hutan. Selain itu, garis pantai daerah yang mencapai 2.000 km, dengan 228.000 km² wilayah perairan, menggambarkan besarnya kekayaan laut hingga mencapai 1,3 juta ton untuk perikanan. Sayang, dari harta melimpah ini, orang asli masih tinggal di gubuk. Beberapa survey menyebutkan, tingkat kemiskinan di Papua bahkan masih tinggi, 41,80%.

Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), seperti dari Kompasiana, Siti Zuhro mengatakan, kegagalan Otonomi Khusus di Papua dan Papua Barat dikarenakan dalam penerapannya, pelaksanaan Otonomi Khusus tidak dikelola langsung oleh Pemerintah Daerah Papua.

Deputi Bidang Koordinasi dan Sinkronisasi Perencanaan dan Pendanaan Unit Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Papua Barat (UP4B) M Ikhwanuddin Mawardi menyebutkan, kegagalan Otonomi Khusus juga disebabkan lemahnya pengendalian dan pengawasan pengelolaan dana Otonomi Khusus oleh pemerintah pusat, baik Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Keuangan, maupun Bappenas.

Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua diberikan melalui Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 (Lembaran Negara Tahun 2001 No. 135 dan Tambahan Lembaran Negara No. 4151) yang telah diubah dengan Perpu No. 1 Tahun 2008 (LN Tahun 2008 No. 57 dan TLN No. 4843).
Read more...
Kamis, 17 Oktober 2013

PM Tonny Abbot Mendukung SBY, John Madigan Kencam

0 komentar
Perdana Menteri Australia Tony Abbott yang tengah berada di Bali dalam rangkaian pertemuan KTT-APEC, bersitegang dengan seorang anggota senator di Negeri Kangguru. Perdebatan itu berujung dari komentar Abbott tentang Papua Barat. "Warga di Papua Barat lebih baik sebagai bagian dari Indonesia, yang saat ini terus menunjukkan kemakmuran, kuat, dan dinamis," ujar Abbott menjawab pertanyaan wartawan di Bali, seperti dikutip Guardian, Senin (7/10/2013).

Ucapan ini dikecam keras oleh Senator Partai Buruh Demokratik (Democratic Labor Party/DLP) John Madigan. Pria ini dikenal sebagai senator senior di Parlemen Australia.

Madigan selama ini dikenal sebagai pendukung utama kemerdekaan Papua Barat. Senator DLP itu mendesak Pemerintah Australia untuk memberikan suaka kepada mahasiswa Papua yang melakukan aksi di Konsulat Australia, Minggu 6 Oktober 2013.

"Saya ingin tahu, bukti apa yang telah diberikan kepada Abbott (oleh Pemerintah Indonesia) yang menyebutkan situasi di Papua Barat terus membaik, bukan memburuk?" tutur Madigan.

"Apakah dia (Abbott) percaya dengan ucapan Presiden Indonesia (Susilo Bambang Yudhoyono)? Saya harap tidak," lanjut Madigan.

Madigan menambahkan, bila memang Abbott merasa yakin dengan kondisi di Papua, sudah sepatutnya dia meminta agar jurnalis asing dan pengamat HAM diperbolehkan masuk ke Papua. Selain Madigan, Abbott juga diserang oleh Senator Independent Nick Xenophon yang menilai mahasiswa melakukan permintaan yang damai di Konsulat Australia.

"Saya tidak mendukung separatisme di Papua barat, tetapi saya mendukung pengawasan HAM," tutur Xenophon.

Selain kedua politikus tersebut, Abbott juga dikecam oleh pengusaha Ian Melrose. Selama ini pengusaha suskses Australia itu membiayai rangkaian iklan pro-Papua Barat yang dilayangkan oleh Madigan

Read more...
Rabu, 16 Oktober 2013

West Papua Allegedly Still Not Open To Foreign Media - October 15, 2013

0 komentar
Newspaper claims journalists still need special permits to enter

Photo Papuan Activist
AUCKLAND, New Zealand (Pacific Scoop, Oct. 14, 2013) – Australian newspaper The Age has rebuffed Papua governor Lukas Enembe’s statement that the journalist blockade in West Papua has been lifted.

Enembe said recently he wanted to welcome reporters and non-governmental organisations (NGOs) to the region.

"Why not? There’s nothing that needs to be covered up. That would only raise questions… Please, come to [West] Papua. It’s open for everyone," the governor said in an interview with the Jakarta Globe.

However, the notion that West Papua had changed its rules on reporter and NGO access appears to be unfounded, according to The Age.

Following Enembe’s statements, senator Richard Di Natale from the Australian Greens, one of the Parliamentary Friends of West Papua group, said he would go to West Papua and that he would "invite a delegation of journalists and human rights representatives" to join him on the trip.

The hope for openness was squashed by the central government in Jakarta, according to The Age, as Indonesia still required journalists to apply for special permits to go to West Papua.

Special permission

Journalists must apply to the Indonesian Department of Foreign Affairs for special permission to travel, giving all information about who they will interview, when and where.

Their application is then considered on a so-called "clearing house" meeting, involving 18 Indonesian government departments, including police and the military
.
Many applications for travel features to the Raja Ampat diving site are approved, but most applications for serious reporting are rejected.

Fairfax Media has confirmed with the Indonesian Department of Foreign Affairs that the "clearing house" process remains the only legal route to West Papua.

More: 
Read more...

Buctar Tabuni: Bagi Pejuang Kematian Adalah Kemuliaan dan Penjara Adalah Istana

0 komentar
Bucthar Tabuni Orasi Aksi KNPB di jayapura
Jayapura, "Bagi Pejuang Kematian Adalah Kemuliaan dan Penjara Adalah Istana itu kutipan kata dari ketua PNWP Bucthat Tabuni, Dalam orasi politik didepan masa aksi KNPB 16/10 Jayapura - papua.
 
Mantan ketua KNPB ini berkata, 'Tidak ada kata takut dalam memperjuangkan hak dan jati diri bangsa papua, bagi kami Kematian adalah kemuliaan bagi pejuang  dan penjara adalah istana bagi pejuang, janganlah takut bicara papua merdeka, karena kami berjuang kebenaran'.

saya tidak setuju anda mati karena mabuk, bagi saya tidak itu, jika saya mati dalam perjuangan ini, maka itulah kemuliaan bagiku dan bagi pejuang dan aku dipenjara karena perjuangan ini maka itulah tempat istanaku yang sering-sering ditunggu-tunggu'.

Lanjutnya tabuni, ' jika aksi demo damai saya, di hadang aparat TNI/Polri maka itulah yang saya cari, sebagai nilai politik bagi perjuangan kami'. seandainya saja tanpa pemblokiran aparat TNI/Polri saya menurunkan ribuan rakyat di kota ini, maka bukanlah itu yang kucari.

sambungnya,' jika aku dihadang saat demokrasi, saat itulah anda akan di tekan atas hak kebebasan berekspresi, berpendapat dan pelanggaran HAM, oleh dunia secara universal.

Dia juga menyampaikan rasa terima kasih kepada PM Vanuatu dan rakyat Vanuatu atas membawa issu papua di Sidang tahunan PBB tanggal 28 September 2013. 
Kami tahu bahwa bapak Moana Kalosil Carcasses (PM Vanuatu) adalah penggagas IPWP tahun 2018, saat ini menjadi PM vanuatu yang selalu konsen pada issu penentuan nasip sendiri bagi rakyat west papua.
Read more...

Labels

 
HOLANDIA NEWS © 2011 DheTemplate.com & Main Blogger. Supported by Makeityourring Diamond Engagement Rings

You can add link or short description here